48; dejavu

928 49 0
                                        

“Laz?”

“Yap?”

Lazuar menyahuti Lucy yang memanggilnya dari bangku sebelah, sementara dia masih fokus menyetir. Karena belum ada lanjutan, Lazuar jadi mengintip layar iPad Lucy, yang ternyata membuka laman seputar anak autis.

“Ngapain kamu baca gituan?”

Lucy akhirnya menoleh, “Kata artikel ini, anak autis itu bisa depresi juga, loh, Laz. Makanya, kamu jangan kebangetan sama Vian. Kasian.”

“Orang dia cuma mikir seneng-seneng.”

Ya, menurut Lazuar, Zavian tidak akan menaruh atensi pada hal-hal rumit di sekitarnya. Dia berkesimpulan bahwa anak itu hanya akan peduli pada semua yang dia suka seperti kincir angin, luar angkasa, pao-pao manis, ensiklopedia, dan kartun favoritnya. Secara tak sadar, ia ternyata mengingat betul apa saja yang Zavian prioritaskan. Lucy tadinya mau mendebat, tapi mobil sudah diparkir Lazuar di garasi. Mereka sampai di rumah.

“Aku buatin kopi, ya?”

Lazuar tersenyum, “Boleh. Aku mau ngelap kaca mobil bentar, kena air ujan tadi.”

“Ok, jangan lama-lama, ya.”

Alhasil, Lucy turun duluan dan meninggalkan Lazuar. Begitu membuka pintu, seisi rumahnya agak terlalu hening. Jadi, dia melangkah ke ruang tengah, bertepatan dengan Zavian yang sudah sampai di tangga dan hendak menuju kamarnya. 

“Vi—”

“—Lucy,” panggil Helma, secara sengaja memutus seruan Lucy untuk Zavian, yang sudah menghilang di lantai dua, “Pulang sendiri?”

“Ngga, Mi. Lazuar masih benerin mobil,” Lucy pun bergabung di sana, bersama Helma dan si kembar yang tampak terhenyak, “Sas, Far, baru pulang juga kalian?”

Namun, Sasta dan Jafar tidak mengatakan apa-apa. Lucy semakin sangsi begitu mereka saling membuang wajah, seperti ada sesuatu yang merenggangkan hubungan keduanya. Jadi, dia melirik Helma, meminta penjelasan. 

“Iya. Baru pulang.”

“Aku tanya anak-anak, Mi,” Lucy mengernyit, kini tatapannya hanya mengarah pada Sasta dan Jafar yang kompak membanting diri di sofa, “Mama liat tadi Vian abis dari sini, ngga kalian apa-apain, kan?”

“Ma.”

Lucy memenuhi panggilan Jafar dengan wajah sarat ingin tahu.

“Masa aku punya kembaran yang tega sampe sejahat ini?”

“Maksud lo apa?” Sasta terpancing, dia tak sadar sudah menunjukkan sisi aslinya yang selama ini dia sembunyikan—dirinya yang pemarah, dirinya yang tak bernurani, “Gue ngga ada urusan sama lo, Far!”

“Kenapa, sih?!” bentak Lucy, serta merta membuat dua anak laki-lakinya meredam emosi masing-masing, “Mama ngga ngerti. Jelasin maksud kamu tadi, Far. Sas, kamu diem dulu coba.”

“Selama ini Mama pikir, aku yang paling benci Vian, kan? Emang aku benci dia, tapi aku ngga setega Sasta buat nyeburin dia ke sungai beraliran air deres dan bahkan nyuruh dia bunuh diri beberapa menit lalu.”

“Apaan—”

“—ngaku aja!”

“Lo khianatin gue, Far! Lo bilang mau nutupin kasus itu dan ngelindungin nama—”

“—awalnya, Sas, awalnya! Gue pikir lo ngga sengaja, tapi barusan lo ngehasut seseorang buat bunuh diri! Bagi gue, itu keterlaluan! Sejahat-jahatnya gue, gue ngga sampe ati buat ngelakuin semua yang lo lakuin!”

“Lo mending jujur sama diri sendiri, Far! Di lubuk hati terdalam, lo juga pengen—”

“—iya! Gue emang pengen itu anak ngga ada di sini, tapi gue masih waras!”

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang