15; serangan malapetaka

775 72 13
                                    

Di perjalanan menuju Jogja, Zavian tidak berhenti mengagumi pemandangan di luar jendela. Ia bahkan terpukau saat melewati deretan pepohonan, hamparan sawah, dan aliran deras air sungai di bawah jembatan—yang tidak ada menarik-menariknya bagi teman-temannya itu. Namun, Zavian tidak mengantuk sama sekali saat semua orang di dalam bus tertidur, ia juga tidak merasa lapar padahal dia dibekali Nire jajanan. Saat ini, Zavian hanya sibuk meraba kaca sambil sesekali berseru riang, ia tidak peduli ada mereka yang mendecih padanya hanya karena dia sebersemangat ini.

Karena Zavian duduk sendiri, ia jadi leluasa menikmati waktunya. Tidak akan ada yang terganggu, tidak akan ada yang menegur. Tapi, dia sempat celingukan mencari tempat duduk Elvan, meskipun dia tahu tetangganya itu pasti menempel di dekat Renja. Zavian tidak mungkin menghampiri mereka, selain karena ia punya traumatik tersendiri terhadap Renja, dia juga yakin Elvan akan segera mengusirnya.

"Vian."

Zavian spontan menoleh saat seorang pria memanggil namanya, ia ingat pesan Lazuar untuk tidak mengabaikan orang-orang yang bicara padanya, dia harus menjaga sopan santun, seperti yang diminta Lazuar supaya tidak dimarahi lagi. Jadi, Zavian membiarkan wali kelasnya itu duduk di kursi sebelah.

"Masih lama sampenya, Vian ngga bosen?"

Zavian menggeleng berkali-kali, Daru—pria di bilangan empatpuluhan ini pun tersenyum, ia takjub sekali dengan; seberapa kuatnya Zavian bertahan di antara orang-orang yang menghakiminya, seberapa percaya dirinya Zavian terhadap stigma negatif yang selalu dilayangkan masyrakat padanya. Daru, sebagai wali kelas, entah mengapa jadi merasa beruntung punya siswa seistimewa Zavian. Lihat, binar-binar matanya. Lihat, wajah berserinya. Lihat, sumringah senyumnya. Semua itu, mendadak menghangatkan hati Daru.

"Emang Vian berani nanti tidur sendiri? Katanya, hotel yang kita samperin nanti ini lumayan serem, loh."

"Kalo Vian penakut, berarti bukan cowo, tapi banci."

Daru agak tidak menduga dari mana Zavian mendapat kosakata nyeleneh itu, tapi dia reflek tertawa, "Siapa yang bilang?"

"Papanya Vian. Papa paling ngga suka liat Vian jadi orang lemah."

"Wah, bagus, dong. Berarti Papanya Vian sayang sama Vian. Maksudnya, kalo Vian berani, berarti Vian bisa lawan orang-orang yang jahatin Vian, kan?"

Namun, Daru sangsi seketika saat Zavian malah menunduk.

"Loh, kenapa?"

Demi apapun, Daru yakin ia tak salah bicara, dia sudah memilah kata dan merangkai kalimat sebaik mungkin agar tak menyinggung Zavian.

"Masalahnya," Lantas, Zavian mencicit pelan, bahkan Daru perlu mendekat supaya bisa mendengar suara seraknya, "Papa Vian ngga sayang Vian."

Sekejap itu, tatapan mereka bertumbuk, tapi kepedihan menyayat hati serta mengiris batin Daru. Ia tertegun begitu Zavian menunjukkan mata berkacanya, binar cerah tadi sudah hilang, wajahnya juga berubah kelabu, seri-seri bahagia tadi sudah musnah, pun dengan sumringah di senyumnya yang kini jadi sebaris senyum getir.

Keceriaan Zavian beberapa detik lalu raib hanya karena Daru menyebut soal ayah anak itu.

***

"Tolong taati peraturan, ya. Semuanya, kalo sampe ada yang bawa barang-barang ngga bener kaya alkohol, petasan, video porno, atau apapun itu, siap-siap kena sanksi. Bapak ngga mentolerir, pokoknya. Ini acara sekolah, bukan liburan. Ngerti?"

"Ngerti, Pak!"

Anak-anak kelas sebelas menyahut serempak. Mereka sudah berbaris perkelas di aula hotel, beberapa sibuk mengecek barang bawaan, beberapa lagi sudah menguap dan kelelahan, serta beberapa lainnya asik bercanda dan bergurau sendiri.

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang