Mereka bertiga masih berendam di dalam kolam renang—Zavian tetap diam di tempatnya semula sambil mengamati Sasta dan Jafar berenang di area terdalam itu. Dia memang diminta menunggu di sini atau bermain air tanpa perlu menginjakkan kaki sampai ke ujung sana. Jadi, Zavian menurut—setidaknya untuk sepuluh menit. Detik berikutnya, dia tidak betah. Dia mulai penasaran.
Karena Sasta dan Jafar masih asik adu cepat berenang dari sisi sana ke sisi sana, Zavian pun luput dari pengawasan keduanya.
Entah bagaimana, Zavian tiba-tiba saja sudah sampai di bagian paling ujung dari kolam renang berbentuk persegi panjang ini. Semula dia hanya berjalan pelan-pelan sambil meraba pinggiran kolam, ternyata pijakannya sudah meleset—dan dalam sepersekian detik, dia kembali seperti beberapa menit lalu, tenggelam. Jika tadi hampir, mungkin sekarang sudah benar-benar tenggelam.
Ada kecipak-kecipak air yang serta merta menarik atensi Sasta dan Jafar.
"Vian!"
Barusan adalah teriakan Sasta, tapi ternyata Jafar sudah lebih dulu berenang menuju Zavian.
Jafar hanya bisa mendapati tangan-tangan Zavian yang berusaha menggapai udara, lantas dia terburu mendorong badan adik tirinya itu hingga mencapai dataran yang lebih landai. Setelah itu, dia arahkan tangan-tangan Zavian hingga memegangi ubin di pinggir kolam, kemudian dia menepuk punggung yang lebih muda beberapa kali sampai terbatuk-batuk.
Sekian waktu Zavian pakai untuk menetralkan diri dan menormalkan napas, demi apapun dia akui dia hampir mati tenggelam tadi.
"GOBLOK BANGET, SIH! UDAH DISURUH DIEM AJA DI SINI MALAH NGEYEL SAMPE KE SONO SEGALA!"
Zavian spontan terlonjak kaget, suara keras Jafar membuatnya bergidik ngeri seketika.
"KALO AJA NGGA ADA YANG TAU LO KELELEP, LO MAU BERAKHIR NGAMBANG JADI MAYAT, HAH?!"
Jafar masih marah-marah, bahkan setelah Sasta bergabung dan memberinya kedipan.
"Udah lah," Sasta berujar sambil memegangi kedua bahu Zavian yang bergetar, "Vian naik aja, ya. Udah kedinginan gini."
Namun, bukan Zavian yang menuruti titah Sasta, melainkan Jafar. Dia sudah keluar dari kolam dan sekarang berdiri di atas sana sambil berkacak pinggang, "Gue nolongin lo bukan karna gue udah nerima lo, ya. Ini cuman gara-gara gue punya solidaritas sebagai salah satu anggota klub pecinta alam."
"Naluri kali maksud lo," Sasta sengaja mengoreksi, lalu membantu Zavian agar menyudahi gigilan halusnya, "Buruan, Vian. Naik aja, ngga usah berenang lagi, ya."
Perlahan, Zavian akhirnya berhasil mengangkat badan basahnya hingga dia duduk di pinggiran kolam, sementara Jafar sudah menghilang entah ke mana setelah membalut diri dengan bathrobe, dan Sasta masih belum tertarik untuk menyusul mereka berdua keluar dari kolam ini.
"Ma—maaf."
Sasta tidak sadar sudah tersenyum miring, "Ngga papa, tapi jangan diulangin, ya. Jangan asal nyoba hal yang ngga kamu tau," Sekalian ia membatin—lagian, kalo lo kenapa-kenapa, juga gue sama Jafar yang kena getahnya bakal dimarahin Mama—tapi, Zavian menganggap Sasta tak sejahat Jafar, pada kenyataannya mereka sedang bergelut dengan eksistensi masing-masing; memilih topeng, membentuk karakter, dan menunjukkan apa yang mau mereka tunjukkan.
"Ma—makasih."
Zavian hanya teringat pada pesan Sarona—bahwa dia harus selalu bisa memanusiakan manusia, artinya dia tidak boleh seenaknya memperlakukan mereka. Walaupun terkadang, ada banyak orang yang terang-terangan menyakitinya dari pada menyayanginya.
Sampai hari ini, Zavian masih tidak mengerti mengapa masih ada yang membenci keberadaannya; padahal dia menyabet gelar siswa terbaik dua tahun berturut-turut, padahal dia punya skor paling memuaskan setiap ujian tes masuk sekolah dari TK, SD, SMP, dan SMA. Tapi, kenapa kepintarannya saja tak cukup untuk dibanggakan—Lazuar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Подростковая литератураJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...