Setelah makan malam, Zavian terburu menuju kamarnya. Dia tidak lagi menetap di ruang tengah di mana Helma, Lazuar, dan Lucy ada di sana. Kini, Lazuar dan Lucy duduk sejajar menghadap TV, sementara Helma sedang mengupas buah apel sambil menyimak obrolan mereka.
"Aku ngga abis pikir, deh, Laz. Anak-anak jaman sekarang bener-bener ngga punya toleransi sama prikemanusiaan apa, ya? Orang tuanya ngajarin apa aja, sih?"
Dumelan Lucy barusan membuat Lazuar mengesah—karena lagi-lagi, topik mereka berpusat pada Zavian, "Ya namanya beda jaman, Lucy. Ngga bisa main pukul rata kaya jaman kita dulu. Lagian, kamu mikirin apanya? Vian?"
"Aku ngga bisa diem aja, dong. Mana bisa aku terima Vian ditonjok temennya cuman perkara cemburu? Pokoknya, aku besok harus ke sekolah Vian."
Lazuar spontan berdecak, "Udah dibilang berapa kali, kamu harusnya nurut sama suami kamu, Lucy. Aku ngga setuju kamu ke sana, malah memperkeruh keadaan aja. Udah biarin, biar Vian juga bisa jadiin itu pelajaran."
Alhasil, Lucy menoleh cepat, "Kamu itu bener-bener ngga sayang sama Vian, ya? Kamu itu bener-bener ngga khawatir sama anak kamu sendiri, ya?"
"Ya karna kamu berlebihan," Lazuar sempat melengos saking lelahnya menghadapi Lucy, lantas ia teringat bahwa pembicaraan mereka ini tengah disaksikan ibu mertuanya, "Coba tanya Ibu. Menurut Ibu, perlu ngga Lucy ke sekolah Vian?"
Helma pun segera meletakkan pisau di piring, baru menyahut tenang, "Lucy, kalo kamu ke sana, kamu berharap pertanggungjawaban apa dari sekolah? Itu sekolah negeri biasa, bukan sekolah swasta kaya tempat Sasta sama Jafar dulu, kan?" Malah, ia dengan sengaja mengejek kemampuan Lazuar, "Lagian, citra kamu sebagai pemegang saham paling gede di Ahzuna bisa ternodai kalo-kalo di sana kamu bikin perkara. Mending, diemin aja. Toh, anak itu ngga masalah, ngga ada cedera serius juga. Ngga dirugiin kan kita?"
Lucy menggeleng berulang kali, sekalian memandang bergantian menuju Helma dan Lazuar, "Ternyata pikiran Mami sama Laz sama aja. Iya, sama kaya temen Vian yang cemburu sampe-sampe nonjok itu. Sembarangan aja dia main tangan ke anak aku. Harusnya perasaan kalian sama, dong. Yah, walopun bener, luka Vian bisa diobatin dan ngga parah-parah banget," Kemudian, ia putuskan untuk beranjak dari sofa, baru berpamitan kepada suami dan ibunya, "Aku tidur duluan—"
"—ngga usah ke sekolah Vian."
Lucy mengangguk sekali pada titah Lazuar, "Oke. Aku ngga ke sekolah Vian, tapi aku cari sendiri mana anak yang mukul Vian—"
"—ngga usah sampe segitunya juga lah."
Lucy mengernyit, "Kenapa? Aku sebegininya demi anak kamu, loh, Laz. Harusnya kamu bersyukur dan berterima kasih, kan?"
Terakhir, Lucy melenggang pergi ke kamarnya, sisakan aduan tatap Helma dan Lazuar di sana.
***
Tengah malam begini, Zavian masih terlentang sambil memandangi langit-langit kamar. Ia hanya tak bisa mengalihkan diri dari kejadian tadi sore, di mana dia—yang tidak merasa melakukan kesalahan dan kekeliruan apapun—mendadak dipukul sampai tersungkur. Kalau tidak ada Elvan, dia mungkin sudah lebih dari babak belur. Namun, dia tidak berpusat pada rasa sakitnya, satu-satunya yang mengganggu pikirannya adalah tentang tangisan Callice.
"Yah. Cal nangis gara-gara Vian, ya?"
Zavian bergumam demikian seraya bangkit dari rebah, tiba-tiba ia ingin pergi ke toilet. Jadi, dia pergi keluar kamar dengan langkah mengendap dan dengan kaki berjinjit, supaya tidak menimbulkan suara. Meski setelah membuka pintu, Zavian hanya menemui kegelapan, dia sama sekali tidak takut, tidak gentar, tidak goyah. Karena dia hanya mengaku kalah bila berhadapan dengan hujan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Novela JuvenilJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...