45; kebohongan

574 34 0
                                    

Begitu Jafar menghilang di antara arus deras air sungai itu, Sasta tertegun di tempat. Ia serasa patung yang belum selesai dipahat, terdiam seperti habis dihipnotis. Padahal saat jelas-jelas Zavian sengaja dia dorong tadi, tidak ada perasaan kalut semacam ini. Namun, setelah Jafar meneriakinya dan menceburkan diri ke sana, dia sadar ternyata sudah keterlaluan.

Sementara itu, Jafar terus berenang melawan arus air sungai yang jelas menyulitkan pergerakannya. Tapi, dia tetap memaksa, meski matanya sudah perih, walau tangan dan kakinya hampir kebas, dia harus menyelamatkan nyawa Zavian.

Sebenci-bencinya Jafar terhadap Zavian, dia tidak pernah kepikiran apalagi sampai hati melakukan seperti yang Sasta lakukan tadi.

Beberapa menit krusial telah terlalui hingga Jafar menemukan badan Zavian terombang-ambing, matanya sudah terpejam, dan warna kulitnya memutih. Tanpa mengulur waktu lagi, Jafar mempercepat gerakan renangnya menuju ke sana.

Setelah memastikan Zavian berada dalam genggamannya, Jafar pun bergegas membawa adik tirinya ini ke pinggiran sungai.

Satu hal yang Jafar sadari setelah membaringkan Zavian adalah napasnya hampir tak kentara. Berbekal pengetahuan yang dia dapat dari klub pecinta alam, dia segera memeriksa nadi di leher Zavian, yang tidak terasa di ujung telunjuknya. Jadi, dia pun bergegas memposisikan kepala Zavian di tempat selandai mungkin supaya mengurangi resiko cedera yang makin parah, baru dia lakukan CPR yakni dengan memompa dada korban berulang kali.

Bagaimanapun, Jafar harus segera mengeluarkan air-air yang tertelan Zavian ini. Sekian detik kemudian, Sasta menyusul kemari, dia berdiri gamang, masih syok.

“Far—”

“—gue ngga akan bilang kalo lo tega sampe segininya, hah—” Jafar menyambut omongan Sasta sambil terengah sebab dia belum berhenti menekan dada Zavian, “—hah, tapi lo bakal jadi pelaku pembunuhan kalo sampe anak ini ngga selamet. Sumpah, Sas, kalo ngga ada gue, dia mati, Sas!”

Sasta meneguk ludah, lalu turut berjongkok, tapi tetap tidak tahu harus melakukan apa.

“Lo liat dia pucet banget,” Jafar terus melakukan pertolongan pertama ini sambil berharap Zavian terbatuk demi bisa memuntahkan air sungai dari paru-parunya, “Gue bakal ngelindungin lo—hah—gue bakal sembunyiin perbuatan lo—tapi, gue ngga tau gimana anak ini bisa aja nunjuk lo dan nyeritain kronologisnya.”

Sasta kelimpungan, ia menggeleng beberapa kali.

“SEKARANG LO PANGGILIN MAMA BIAR MAMA CEPET TELPON AMBULANCE! GUE NGGA BISA NYADARIN DIA SENDIRI!”

Alhasil, Sasta berlari kembali ke villa dan sibuk memikirkan alasan apa yang bisa dia utarakan mengapa Zavian berakhir seperti itu.

***

Begitu Sasta datang dengan kabar buruk tadi, Lucy merasa lemas seketika, sementara Lazuar terhenyak dalam pikirannya sendiri. Tidak ada yang sempat menanyakan kronologis bagaimana Zavian bisa tenggelam. Sampai kemudian mereka berlari menyusul ke tepi sungai dan berakhir menyaksikan Zavian dievakuasi ke dalam ambulance. Lucy bergegas masuk, ia perlu mendampingi Zavian di perjalanan menuju rumah sakit. Lantas, Lazuar mengajak Sasta dan Jafar mengikuti di belakang.

Karena Zavian masih pingsan, petugas medis di sebelah Lucy ini segera memberi selimut di sekujur badan sekaligus memasang selang oksigen di lubang hidung pasien.

“Mbak, kok belum sadar, ya, Mbak? Mana RS-nya masih jauh.”

Si petugas medis mengangguk, “Kita masih belum tau Zavian ini termasuk jenis tenggelam yang mana. Karna ada dua, wet drowning dan dry drowning. Wet berarti ada banyak sekali cairan yang masuk ke paru-paru, sementara dry berarti saluran pernapasan yang refleks menyempit sehingga oksigen ngga bisa masuk ke paru-paru. Saya ngga bisa melangkahi diagnosa Dokter, jadi saat ini saya hanya memberi pertolongan paling dini. Mohon bersabar, ya, Bu.”

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang