46; keceplosan

542 31 2
                                    

Semuanya berlalu sangat cepat sampai-sampai Zavian tidak sempat mencerna tiap kejadian satu persatu. Dia melarikan diri dengan maksud membahagiakan ayahnya; dia turuti mau Lazuar tanpa bantahan apa-apa. Namun, di tengah ketidaktahuannya akan dunia luar, dia justru ditemukan kembali. Kemudian, sebelum dia mencecap senang sebab baru saja menginjakkan kaki di kota yang begitu ingin ibunya kunjungi, dia sudah mengalami malapetaka duluan. Di antara dua orang yang sama sekali tak terbersit di benaknya tega mencelakainya, dia akhirnya paham bahwa tidak ada orang tulus di dunia ini selain Sarona. Sasta yang selama ini dia kira punya secuil kebaikan dibanding Jafar, ternyata justru paling berminat menghilangkan nyawanya. Di balik topeng penuh kepalsuan yang menyimpan sejuta muslihat itu, dia tertipu. 

Zavian memang tidak bisa menunjukkan ekspresinya; tertawa, menangis, dan lain sebagainya. Kadang, jika terlalu berlebihan, dia baru bisa menangis, seperti ketika merasa kesakitan saat Lazuar menghukumnya. Kadang, jika ingin mendapat atensi, dia baru bisa tertawa, seperti ketika perlu membujuk Elvan untuk mengikuti maunya. Satu-satunya emosi yang paling bisa dia utarakan adalah rasa marah, meski berulang kali dia berusaha meredamnya sendiri jika teringat pesan Sarona—untuk tidak menjadi seorang yang pemarah—sehingga lambat laun dia mulai bisa mengurangi kadar tantrum-nya.

Bentuk sentuhan seperti apapun akan Zavian tolak. Dia tidak suka didekati manusia lain yang entah memang secara tulus ingin menyayanginya atau sekadar ingin menjadikannya bahan lelucon, tapi dia tidak mengerti itu semua. Sejauh ini, dia hanya hidup berdasar hal-hal yang dia sukai; ibunya, luar angkasa, ensiklopedia favorit, dan pao-pao manis kesukaannya. 

Sepanjang perjalanan pulang tadi, Zavian banyak melamun. Setiran Lazuar terasa tak nyaman, wajah lelah Lucy pun tampak cemas. Sebelum Dokter mengijinkannya pulang setelah menghabiskan satu kantong infus, dia mulai berpikir tentang ancaman saudara-saudara tak sedarahnya. Dia hanya ingat bahwa mereka melarangnya untuk melapor kronologis sebenarnya bagaimana dia—yang tidak bisa berenang dan jelas-jelas membenci air ini, bisa hampir tenggelam. 

“Vian.”

Dini hari ini, begitu matahari menyingsing di ufuk timur, Lucy sama tidak terjaganya seperti dia sejak tengah malam tadi.

“Mau sekolah atau di rumah aja?”

Zavian diam, mata bulatnya berubah sayu, dia tidak bergerak seinci pun, bahkan untuk membalik badan sebab ada Lucy yang duduk di tepi ranjangnya sana. 

“Vian pasti masih takut, ya? Vian pasti masih trauma, ya?” Lantas, Lucy putuskan untuk pindah ke sisi yang bisa dilihat Zavian dan dalam sekejap hatinya mencelos tak karuan—dia perlu bicara berdua dengan anak ini, tentu saja. Karena dengan siapa lagi Zavian bisa membagi apa yang dia rasakan selain dirinya? Walaupun agak mustahil. Alhasil, Lucy berlutut hingga menyamakan posisi wajahnya di hadapan wajah Zavian, dia lega anak itu tidak membuang muka, “Maafin Tante, ya? Tante gagal jagain Vian. Tante hampir kehilangan Vian,” Ya, dia hampir kehilangan Zavian di dua kesempatan berbeda—jika Zavian tidak ditemukan Polisi sedang berdiri di tengah jalan dan jika Zavian tidak diselamatkan Jafar saat di sungai itu. 

“Mama. Vian mau Mama. Mama.”

Lagi-lagi Zavian merapal panggilan yang tidak mungkin dia tujukan untuk Sarona. 

Karena Lucy tahu Zavian tidak suka disentuh, ia harus mengurungkan niatnya untuk sekadar mengusap lengan dan membelai rambut itu. Akhirnya, dia berdiri, baru bergumam lirih, “Vian, Tante tunggu sampe Vian siap buat ceritain semuanya. Tentang kenapa Vian kabur, tentang kenapa Vian tenggelam, semuanya. Meskipun, itu semua berhubungan dengan orang-orang yang Tante sayang. Ngga papa.”

Mendadak saja, Zavian terduduk tegak, dia mengerjap beberapa kali.

“Sekolah. Vian mau sekolah sekarang. Sekolah.”

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang