Hari ini ada pelajaran olahraga. Renja dan Elvan paling suka pelajaran ini, tapi Zavian paling membenci pelajaran ini. Karena saat di lapangan, dia selalu dijadikan sasaran empuk untuk dijahili teman-temannya. Kadang mereka melemparinya dengan bola basket hingga di beberapa sudut ada bilur memar. Sering mereka menghantamnya dengan raket hingga di tiap sisi ada bekas kemerahan. Semua itu, acapkali dilakukan Bobby dan Mizar atas perintah Renja, tentu saja.
Kini, semua anak kelas XI IPA 3, berkumpul di lapangan. Elvan baru saja diminta untuk memimpin pemanasan. Jadi, Zavian mengikuti gerakan tubuh Elvan di depan sana, dengan serius tanpa terkecoh sama sekali. Meskipun, ada ejekan-ejekan Renja yang bisa didengar telinganya dari sini.
"Kalo ntar kasti, gue mau Vian jadi pemukul, ah. Sekali-sekali gue pengen liat dia mukul bola."
Bobby dan Mizar menanggapi bersama tawa cekikan mereka, yang harus ditahan-tahan supaya tidak menimbulkan keributan.
"Vian kan ngga suka lari-larian," timpal Bobby, masih dengan gelak memuakkannya.
"Vian sukanya duduk-duduk di tribun," tambah Mizar, sekalian menyeringai culas.
Zavian akhirnya berhenti mengikuti gerakan Elvan, ia lantas menghadap belakang dan menemukan tiga sosok yang selalu mengganggunya itu—seperti sedang menunggu dia untuk mengatakan sesuatu.
"Setan."
Renja yakin tidak salah dengar, alias ini pertama kalinya Zavian melawan cemoohannya, yang bahkan tidak seberapa dibanding biasanya.
"Hah? Lo ngatain siapa? Kita? Setan?"
Zavian mengangguk, ia tidak gentar sekalipun Renja meminimalisir jarak dengannya.
"Tumben lo bisa ngomong. Mana langsung ngatain lagi."
Namun, sebelum Renja sempat menyentuh bahu Zavian, seruan Pak Yatno—si guru olahraga—terpaksa mengurungkan niatnya. Renja mundur, tapi dengusan masih bisa ia pamerkan untuk Zavian. Sekian detik kemudian, Elvan sudah kembali ke barisan dengan raut bingung saat mendapati atmosfer tegang di sini, dia yakin Zavian pasti baru saja berulah tadi.
"Ngapain lo pada?"
Renja menggeleng, lalu menunjuk punggung Zavian yang sudah berbalik, "Tetangga autis lo ngatain gue setan."
"Sumpah? For the first time?"
Renja menoleh pada Elvan, ia mengangguk penuh sarkasme lagi, "Iye. For the first time, dia ngga ngomong hal-hal yang ngga masuk akal. Dia sekarang ngerti caranya ngatain kita. Lo ajarin?"
Elvan mendecih, "Kaga ada untungnya."
"Karna Pak Isdam ngga masuk, jadi kelas sebelah olahraga bareng kelas kita, ya. Kelasnya digabung."
Pemberitahuan Yatno barusan membuat beberapa siswa bersorak, beberapa lagi mengeluh. Ternyata kelas sebelah yang dimaksud adalah kelas IPA 2, kelas yang mempertemukan Liyas dan Callice hingga mereka resmi berpacaran. Tapi, bukan itu poinnya. Beberapa hari sudah berlalu, tampaknya Liyas dan Callice belum berbaikan, mereka masih jaga jarak.
"Jadi, kita main kasti aja. Dibagi dua tim, kelas IPA 3 lawan kelas IPA 2. Mainnya yang tertib, jangan ada yang ngga gerak!"
Yatno memperingatkan kebiasaan buruk anak-anak didiknya jika sudah dibiarkan bermain kasti—pasti ada saja yang memilih untuk hanya jadi penonton dari pada ikut bertanding.
"Vian jadi pemukul aja!"
Selorohan Renja barusan mendapat atensi dari si ketua kelas—Rinday, gadis berambut hitam legam dengan mata belo dan bibir mungil yang hanya mengedik acuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Teen FictionJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...