“Lukanya parah. Ini kenapa, ya?”
Lazuar merutuki diri sendiri saat Dokter menyangsikan bekas cambukan di sekujur badan Zavian, dia jadi teringat bagaimana dengan bengisnya dan kejamnya ia mengayun sabuk itu berkali-kali.
“Karna oksigen sempat tak sampai ke otak, sehingga terjadi pembengkakan jaringan otak, saat ini kami harus menyatakan bahwa pasien mengalami mati otak. Saya harap hanya sementara. Kami tetap mengusahakan yang terbaik.”
Lazuar terus terngiang dengan vonis terakhir wanita dengan jas medis yang memberinya tatapan curiga tadi. Dia sendiri masih syok, jadi semua penjelasan lanjutan itu disimak Jafar dan Sasta.
Singkat kata, Zavian koma.
Kini, Lazuar hanya bisa memandangi Zavian yang terbujur tak berdaya, sedang berjuang antara hidup dan mati, entah memilih untuk bertahan atau pergi, demi apapun dia yakin kalau besar kemungkinan Sarona akan menjemputnya. Sesal itu terus mendominasi, berulang kali dia menyalahkan diri, tapi tetap tak membuat Zavian bangun dari tidur panjangnya. Saat ini, Lazuar berjanji untuk tidak sejengkal pun memindah diri, ia akan terus berdiri di sini sambil meraba kaca ruang ICU, berharap alat bantu napas yang menyambung nyawa Zavian segera dicabut.
“A—aku mau masuk!”
Lazuar perlahan menoleh ke asal suara, ada Lucy yang duduk di kursi roda dan memaksa untuk menerjang larangan Sasta dan Jafar.
“Ngga bisa, Ma, ngga bisa. Belum jam besuk. Dibatesin.”
Lucy gagal menahan tangisnya seusai keterangan Jafar barusan, ia akhirnya bergumam dengan suara bergetar, “Gi—gimana bisa Vian berakhir di dalem situ? Gimana?”
“Udah, ya, Ma. Kita sama-sama berharap yang terbaik aja.”
Lucy menunduk, ia tak mau menyanggupi ajakan Sasta sebab ini masih serasa mimpi baginya, lantas dia seka air matanya dan melirih, “Vian pasti tetep di sini sama kita, ya?”
Namun, tidak satupun dari anak kembarnya berani menjawab pertanyaan Lucy.
Kemudian, Lazuar mendekat, ia ambil alih kursi roda Lucy dan mendorongnya ke kaca yang membentang lebar—tempat di mana mereka bisa leluasa memperhatikan Zavian. Mereka berdua akhirnya berhasil menyatukan pandangan menuju Zavian, tidak ada amarah atau amukan selain rasa tak karuan yang merayapi dada masing-masing.
“Laz, kamu apain anak kita?”
Intonasi Lucy tak menggebu, cenderung lembut, tapi justru itu yang membuat Lazuar makin dan makin hancur.
“Laz, mana senyumnya Vian? Kenapa kita ngga bisa liat senyumnya Vian lagi?”
Lazuar mengeratkan genggamannya di pegangan kursi roda, mati-matian dia menopang diri sendiri, lebih-lebih tak sanggup mendengar penuturan Lucy apalagi mampu melihat derita Zavian.
“Laz, kamu apain anak kita?”
Ketika Lucy mengulang, Lazuar rapuh. Ia meraung histeris dan sudah merosot ke lantai, tak kuasa. Sementara Lucy masih menatap nanar Zavian-nya, ada kosong tak terkira, ada hampa tak terhitung, ini begitu menyakitkan.
“Laz. Aku ngga mau kehilangan Vian. Aku emang cuma ibu tiri, tapi aku udah sayang banget sama dia. Jangan bikin aku kehilangan Vian, ya?”
Demi Tuhan, Lucy sedikit banyak juga menyalahkan dirinya sendiri—seandainya dia tak terluka, mungkin dia masih bisa menyelamatkan Zavian.
“Laz? Kamu di mana?” Lucy tidak berniat mencari keberadaan Lazuar yang sedang kepayahan memukuli dadanya sebab sesak itu tak mau hilang, tapi dia butuh jawaban atas pertanyaannya, “Sekarang kamu tau seberharga apa Vian, kan? Dia sayang kamu, Laz, dan rasa sayangnya ngebuktiin ini semua. Ternyata dia harus ngelaluin kekacauan ini supaya kamu sadar.”
![](https://img.wattpad.com/cover/324505555-288-k578858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Ficção AdolescenteJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...