Lucy Akhazia, merupakan seorang wanita karir yang kini menjadi single mom dan hidup bertiga dengan dua anak kembarnya, Sasta dan Jafar. Sepeninggal mendiang suaminya dua tahun lalu, dia mengambil banyak peran; menjadi ibu iya, menjadi tulang punggung keluarga juga iya. Namun, di sela kesibukannya, Lucy selalu menyempatkan untuk makan malam bersama anak-anaknya, lalu bersikeras mengadakan jam di mana mereka bebas berkeluh kesah atau berbagi cerita seputar hari ini. Ya, harus seperti itu.
"Ma," Jafar memanggil sambil mengunyah nasinya, "Emang Mama ngga malu kalo nanti punya anak autis—uhk! Apa, sih, Sas?"
Sasta tetap tenang menyeruput air putih biarpun Jafar mengamuk berkat sikutan tangannya di pinggang laki-laki itu, baru menyahut, "Makanya, kalo ngomong ngga usah ngelantur gitu."
"Ma," Jafar mengulang lagi, dia sudah menelan nasinya, "Aku serius mau tau, doang. Beneran Mama mau nikah lagi—duh! Apa lagi, sih, Sat?!"
Kalau sudah emosi, Jafar akan mengganti panggilan 'Sas' jadi 'Sat' yang mana memiliki kepanjangan dari bangsat. Lucy hanya menggeleng tak habis pikir dengan aduan tak akur putra-putranya, lantas dia menyatukan sendok dan garpu di atas piring kosongnya, sehingga kini bebas memandangi wajah-wajah bingung itu.
"Mm, gimana, ya? Maunya. Tapi, Mama juga belum sepenuhnya move on dari Papa. Tapi, Mama juga butuh sandaran di hidup yang penuh rutinitas monoton ini. Tapi lagi, semisal kalian ngga setuju, Mama mundur, kok," Lucy tersenyum, ia berharap tak memberi beban kepada Sasta dan Jafar dengan keputusannya yang selalu menomorsatukan mereka, "Oh, iya. Menurut Mama, punya anak autis ngga ada salahnya, sih. Tapi, tau dari mana kalo semisal kalian setuju Mama nikah lagi, Mama bakal punya anak autis?"
"Jafar kan keponya selangit, Ma. Ngga tau, deh, dia nemu di mana."
Jafar mencebik, sengaja melempar tatapan tajam menuju Sasta, "Bukannya bakal makin ngeribetin, ya? Maksudku, kalo ntar kita serumah sama anak kaya gitu, duh, bisa-bisa dia ngancurin semua yang ada di sini, secara kan tingkahnya kaya bocah biarpun usianya udah bukan bocah."
"Jafar ngga usah diladenin, Ma. Dia udah mulai ngeyel auto ngaco."
Jafar jadi seketika mencibir kembarannya, "Lo ada masalah idup apa, sih? Segitu ngga setujunya sama pendapat gue—"
"—ya soalnya, pendapat lo ngga berbobot—"
"—tapi, lo bilang kalo lo ngga setuju juga, kan—"
"—emang, masalahnya gue masih punya nurani buat ngga asal ngomong—"
"—udah, stop," Lucy akhirnya menengahi perdebatan itu, "Kalo kalian sama-sama ngga setuju, ya udah, Mama ngga lakuin. Lagian, Mama sama Om itu dulunya juga cuman temen SMA, kok. Eh, terus ternyata satu proyek, dia mandor di konstruksi apartemen barunya Ahzuna. Abis itu, Mama cuman ngobrol seadanya, ngga yang deket banget gitu. Jadi, kalian ngga usah mikir aneh-aneh. Mama bakal jaga diri biar anak-anak Mama ngga malu. Oke?"
Sasta dan Jafar malah jadi tersentuh dengan penuturan Lucy barusan. Bagi mereka berdua, sosok ibu seperti Lucy ini memang tiada duanya. Lucy seterbuka itu pada mereka, Lucy juga sepengertian dan seperhatian itu terhadap semua hal yang menyangkut keduanya. Jadi, untuk alasan menolak keinginan Lucy, serta merta menyisakan rasa bersalah di lubuk hati Sasta dan Jafar.
***
Setelah diguyur air dingin sekian menit lamanya, Zavian pun patut bersyukur Lazuar sudah puas menghukumnya dengan cara itu. Sekarang, dia tinggal mengurung diri di dalam kamar sambil mengeringkan badan. Begitu terduduk di ranjang, Zavian melilit dirinya dengan selembar handuk tebal, lalu melamun di sana.
"Mama, Papa kenapa masih tetep jahat sama Vian? Dulu, Mama bilang kalo Papa pasti bakal berubah sayang sama Vian suatu hari nanti, tapi kapan? Vian udah nunggu lama, Ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
أدب المراهقينJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...