Seharian ini, Callice putuskan untuk mengurung diri di kamar. Dia tidak masuk sekolah, bahkan tidak menukar pesan dengan Liyas. Setelah kejadian kemarin, hanya ada rasa bersalah dalam dirinya. Meski tak dipungkiri, dia juga ikut andil dalam pertengkaran itu. Tentu tidak ada pihak yang bisa disalahkan di sini.
“Vian pasti benci banget sama gue,” Callice berbisik pada dirinya sendiri, masih tetap di atas ranjang, terduduk sambil memeluk lutut, “Mana bentar lagi udah lomba cerdas cermat lagi.”
Namun, dalam memori Callice justru terbersit momen di mana Zavian membelai poninya. Entah bagaimana, ada sensasi yang sukar dijelaskan, ada dimensi yang sulit dirasakan, tapi dia menikmati jari-jari itu ketika menyentuh tiap helai rambutnya.
“Udah gila,” Kini, Callice merutuk, “Gue udah ada Liyas, jangan sampe lo tiba-tiba ada rasa sama Vian, deh, Cal.”
Memang seubah bentuk meyakinkan diri, tapi sekelebat bayang wajah polos Zavian selalu menghantuinya beberapa hari ini—setiap senyum, yang satu banding seribu, terulas untuknya, pasti ada rasa girang memuncak.
Callice pikir, dia yang memang berlebihan.
Jika perlu dibandingkan, Liyas tentu lebih unggul dari Zavian. Terlepas dari mental mereka, Liyas jelas lebih tinggi, lebih tampan, dan sudah bersamanya beberapa bulan ini. Tapi, entah dari mana, Zavian punya pesona lain yang ajaibnya mustahil ditolak.
Callice kira, dia hanya ingin berteman dengan Zavian.
“Ngapain, sih? Lo ngapain, Cal?” Callice bertanya pada dirinya sendiri tepat begitu hatinya terombang-ambing, “Vian itu ngga ngerti. Lagian, Liyas juga ngga kurang-kurang.”
Kala Callice sibuk dengan perasaan dan pikirannya, ada chat masuk dari Liyas.
From: Bae
Are you okay?
Begitu Callice membaca pesan Liyas, rasa bersalahnya jadi makin meningkat.
“Gue banyak salah sama lo, Yas. Sorry. Gue harusnya ngga bimbang gini.”
***
Kebetulan, Lazuar pulang lebih dulu dari pada Lucy. Lucy bilang, dia masih ingin bertemu investor asing, jadi Lazuar tawarkan untuk menjemputnya saja nanti. Karena seharian meninjau proyek apartemen yang sudah dibangun setengah jadi, Lazuar mengaku lelah sekali. Namun, begitu mendapati seisi rumah sesepi ini, ia jadi sangsi.
“Lucy mana?”
Lazuar spontan menoleh ke asal suara, ada Helma di sana, ibu mertuanya. Sebelum menjawab pertanyaan Helma, ia putuskan untuk menutup pintu dulu dan mengajak wanita senja ini duduk di sofa ruang tengah.
“Ada pertemuan sama investor-investor dari Singapura, Bu.”
Helma memicing, lalu menyilangkan kaki sambil melipat tangan, angkuh seperti biasa, “Kok kamu pulang duluan? Jaman sekarang, suami tega ninggalin istrinya, ya?”
Lazuar mengesah, mati-matian ia tahan emosinya sebab dia tahu sedang berhadapan dengan siapa saat ini, “Maaf, Bu. Tadi Lucy emang nyuruh saya pulang duluan karna rapat itu ngga ada hubungannya sama saya. Tenang aja, nanti pulangnya saya jemput, kok. Kan saya pulang ini cuman mau mandi sama istirahat bentar.”
Helma mendengus, lantas mengalihkan tatapannya menuju foto keluarga yang dipajang di atas TV, “Kamu liat itu. Menantu saya, Papanya si kembar.”
Lazuar pun menurut, di foto besar dengan bingkai emas itu, ia dapati sefigur suami sekaligus ayah yang tampak melebihi dirinya dari segala bidang; bijaksana, berwibawa, penyabar, semua hal-hal baik begitu jelas terpampang di diri pria itu. Dia sadar seberapa berbanding terbaliknya dia dengan mendiang pemilik marga Bramajaya ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/324505555-288-k578858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Teen FictionJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...