47; tahu diri

830 56 0
                                        

Sepulang sekolah, Elvan tidak tahu bagaimana dia bisa berakhir di toko mainan ini bersama Zavian. Dia turuti mau teman yang tak dia anggap teman itu, entah atas dasar kasihan atau rasa bersalah. Sekarang, di antara para orang tua dan anak-anak mereka, hanya Elvan dan Zavian yang menjelajahi seisi toko sambil terus berpindah ke tiap rak mainan dengan mengenakan seragam SMA. Tentu tidak ada remaja seumuran mereka datang kemari, sudah pasti warung kopi atau warung internet lebih menggiurkan.

“Nyari apaan, sih?”

Zavian berhenti melangkah, lalu menoleh ke belakang, tempat Elvan berdiri sambil menggerutu itu, “Kincir angin di dalem kotak misteri. Ada ngga, ya? Mm, apa harus bikin sendiri? Gimana, ya, El? El, El, El mau tanyain ke Mbaknya ngga?”

“Ribet banget, sih.”

Meski mengomel, Elvan tetap menghentikan salah satu pramuniaga wanita yang kebetulan lewat di depan mereka, “Mbak, emang di sini ada kaya kincir angin di dalem kotak misteri gitu?”

Elvan sudah menduga kalau pramuniaga ini bingung, sama sepertinya. Yah, bagaimanapun, mau Zavian itu tidak bisa dicerna otak manusia normal. Namun, wanita berlesung pipi itu tetap tersenyum ramah, lalu mulai menjelaskan, “Adanya dijual secara terpisah, Mas. Jadi, kincir angin sendiri, kotak misteri sendiri. Mau liat-liat dulu?”

“Mau!” 

Bukan Elvan yang menjawab, tapi Zavian yang begitu saja memekik antusias.

“Jangan lompat-lompat!”

Zavian menuruti Elvan, dia pun meredakan kegirangannya sehingga dia lanjut mengekori si pramuniaga ke salah satu rak di sudut toko. Ternyata mereka tidak melewati bagian ini dari tadi sebab Elvan sibuk mengikuti Zavian, yang semangatnya melebihi anak-anak kecil lain itu. 

“Ini, Mas,” Ketika telunjuk si pramuniaga mengarah ke deretan kincir angin beragam warna sekaligus tumpukan kotak bermotif kartun itu, Zavian sudah berjongkok di sana dan memandanginya lamat-lamat, “Silahkan dipilih dulu. Nanti bisa langsung ke kasir, ya.”

“Mahal, El, mahal,” Zavian mendongak, lalu menemukan isyarat Elvan yang menyuruhnya diam.

“Ng, makasih, Mbak,” Karena si pramuniaga itu masih di sini, Elvan jadi kikuk mengusirnya secara halus, lantas setelah mengangguk sekilas dengan senyum sumringah, wanita tersebut siap berpamitan. Alhasil, dia buru-buru menambahkan, “Nanti kita langsung ke kasir kalo udah nemu.”

“El,” panggil Zavian segera setelah si pramuniaga enyah dari lingkup mereka, “Mm, di tas Vian ada banyak uang, tapi kayanya sayang kalo buat beli ini, tapi Papa biar ngga boleh marah.”

“Yaelah, udah kaya raya aja masih mikirin duit lo. Udah buruan ambil satu. Ntar mau lo apain juga ngga peduli gue.”

Meski belum benar-benar terpikir akan dijadikan apa, Zavian akhirnya menuruti saran Elvan—dia ambil satu kincir angin model klasik dan kotak misteri berwarna hitam, lalu menyodorkannya ke Elvan.

“Ayo, bayar, El.”

***

Liyas tahu suasana hati Callice sedang tidak baik saat ini, terbukti dari wajah masamnya yang tak kunjung surut. Kendati demikian, Liyas tetap menunggu Callice mengungkap sesuatu. Padahal, mereka sedang duduk di tepi danau di komplek perumahan Elvan, spot terfavorit mereka.

“Kenapa, Sayang—”

“—kamu pernah bilang, kalo kamu siap jagain dan lindungin Vian semisal dia dijahilin anak-anak gengnya Renja.”

Liyas membeku sejenak, bukan karena dia takut tertangkap basah, tapi ada amarah menyusup di hatinya, “Kenapa harus ada nama Vian di pembahasan kita? Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba peduliin dia melebihi kamu peduliin aku? Kenapa, Cal?”

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang