7. Batasannya, Luar Biasa

3.5K 273 49
                                    

💉 Amalia

Aku tetap fokus mempersiapkan semua peralatanku, meski sejak tadi ada seseorang yang terus saja membuntutiku.

"Mel."

"Kenapa?"

"Kamu lagi kenapa si?"

"Aku nggak ada apa-apa. Memang kenapa?"

"Kamu aneh."

"Kalau aku aneh, berarti, kamu yang lebih aneh."

"Kalau aku lagi aneh, berarti, semua gara-gara kamu, Mel."

Helaan napas segera kukeluarkan. Saat sadar betul bahwa sebentar lagi pasti akan ada bentuk protes yang dilontarkan oleh seseorang laki-laki yang kini telah memberikan kalimat sungutan.

"Jangan melimpahkan kesalahan pada orang lain karena keanehan dari diri kamu sendiri, Danish. Itu nggak adil."

"Tapi serius, Mel. Hari ini, oh nggak, tapi dari beberapa waktu yang lalu, setiap kali kuperhatikan, kamu memang jadi kelihatan nggak biasa."

"Hal nggak biasa apa yang sedang ingin kamu maksudkan, Danish?"

Aku masih mencoba untuk bersabar sekarang. Meski sungutan dari Danish sungguhan sudah seperti ajakan untuk berperang.

"Ya ini."

"Apa, Danish?"

"Kenapa kamu jadi semangat banget setiap kali mau tugas luar?"

"Ya karena ini sudah jadi tugasku."

"Tapi sebelumnya, kamu nggak pernah kaya gini. Karena serius, ini beneran pertama kalinya aku lihat kamu jadi bisa excited banget kaya gini."

"Ya berarti kaya kamu." Balasan jawabanku.

"Ada apa sama aku?"

"Kamu yang pasti selalu bisa semangat banget kalau ada tugas tambahan. Apalagi kalau rekan tugasmu cewek-cewek cantik."

"Kenapa kamu jadi ambil persamaan pakai istilah kaya gini?"

Aku langsung mengendikan bahuku. Dan segera meraih semua perlengkapan yang sejak tadi telah dipersiapkan olehku. "Ya memang kenyataannya begitu."

"Jelaskan dengan pasti, Mel. Pakai kalimat yang lebih gamblang."

"Penjelasanku sudah pasti."

"Jadi, apa maksudnya kegiatan kamu yang sekarang dengan analogi kalau aku lebih semangat dengan perempuan cantik?"

"Katanya, kamu selalu pintar memahami kode perempuan? Jadi kenapa jawabanku nggak bisa membuat kamu langsung paham?"

Danish jadi terdiam.

Dan aku malah tersenyum sebelum akhirnya segera melanjutkan langkah kakiku supaya bisa lekas keluar ruangan.

"Amel."

"Apa lagi, Danish?"

"Jadi maksud kamu, kamu bisa semangat banget seperti sekarang, karena kamu mau ketemu sama cowok ganteng? Iya? Begitu maksud kamu?"

Segera kupercepat langkah kakiku, saat aku mendengar dengusan serta tanda tak terima Danish setelah memahami apa maksudku.

Memang dasar.

Si dokter playboy yang kentara sekali sedang kelabakan.

"Amel. Jawab dulu pertanyaanku. Jangan kabur."

"Maaf, Danish. Tapi sekarang, aku nggak kabur. Karena aku beneran lagi sibuk," jawabku sambil terkekeh. Tapi langkah kakiku tetap tak mau untuk berhenti walau aku tahu kalau Danish sedang mengejarku.

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang