22. Janji Suci

3.5K 226 41
                                    

💉 Amalia

"Kangen calon suami."

"Aku tahu, Mba. Jadi aku nggak mau menghibur dengan kata sabar. Karena sabarnya Mba Asri pasti sudah dipupuk dengan begitu besar."

"Iya, Ras. Sabarku udah kaya berkarung-karung. Sampai rasanya, pengin teriak kenceng banget. Pengin bilang, tolong dong ada sinyal. Biar kangenku bisa tersalurkan."

"Jadi selama Mas Bagas tugas, sampai sekarang, belum pernah telepon, Mba?"

"Gimana mau telepon? Kalau sinyal aja susah banget, Ras."

"Terus, berarti, selama Mas Bagas tugas, Mba Asri nggak tahu gimana kabarnya?"

"Hanya sekedarnya saja, Ras."

"Maksudnya gimana?"

"Iya. Udah setengah tahun lebih Mas Bagas tugas, pesannya beneran bisa dihitung jari. Paling cuma kirim pesan, atau voice note. Dengan bilang, kalau di sana, Mas Bagas baik. Dan minta aku jangan khawatir. Berdoa terus. Begitu. Karena memang sinyal nggak ada. Kalau pun ada, itu susah banget. Yang kalau kirim pesan, delay. Kalau telepon, suaranya putus-putus. Nggak pernah lancar."

"Selain sinyal nggak ada, tugas Mas Bagas di sana, pasti banyak sekali ya, Mba. Padat banget sampai buat pegang telepon aja nggak bakal pernah bisa lama."

"Iya, Ras. Banget. Apalagi kerusuhan juga lagi genting banget di sana. Jadi aku beneran selalu berdoa, bahwa semoga, Allah akan menjaga dan melindungi calon suamiku di mana saja sedang berada."

"Aamiin, Mba."

"Sedih banget, Ras. Serius. Lagi sayang-sayangnya, tapi udah harus ditinggal tugas negara. Itu beneran kaya baru aja dikasih hadiah, tapi terus minta dibalikin. Belum dicoba, tapi kadonya udah langsung dirampas."

"Tetap semangat ya, Mba. InsyaAllah, setelah ini, Mba Asri dan Mas Bagas akan terus bisa sama-sama lagi. Karena jangan lupa, Mba. Sudah lamaran. Sudah diikat dengan cincin. Jadi pulang nanti, tinggal naik pelaminan."

"Aamiin, Ras. Mohon doanya terus ya."

"Pasti, Mba. Selalu."

"Ah kangenku sekarang bakal nambah lagi."

"Karena tugas di markas TNI udah selesai ya, Mba?"

"Iya, Ras. Sebelum ini, tiap harus tugas di poli vaksin markas TNI, aku kaya dikasih obat penawar untuk sementara. Yang kalau aku lagi ada di sini, jadi bisa ingat sama Mas Bagas. Karena di sini, aku bisa ketemu sama calon suamiku. Tapi sekarang, tugas udah selesai. Jadi pasti, aku bakal kangen banget sama tempat ini. Terutama, karena banyaknya kenangan bersama calon suami."

"Dokter Amel juga pasti merasakan hal yang sama ya, Mba."

Aku tertegun.

Dan jadi semakin terpaku di tempat berdiriku, ketika Laras menyebutkan namaku.

"Iya, Ras. Banget. Dokter Amel juga pasti lagi kangen banget sama Pak Komandan."

"Kalau Mba Asri, bisa tenang. Karena walau sedang ditinggal tugas negara, tapi statusnya sudah jelas. Sudah diberi kepastian. Tapi Pak Komandan? Kenapa Pak Komandan bisa tega banget nggak bilang apa-apa sama dokter Amel?"

"Kita nggak bisa tahu dengan pasti bagaimana tanggungjawab besar setiap orang, Ras. Kita nggak tahu juga beban berat apa yang sedang dipikul oleh Pak Komandan. Mas Bagas, yang hanya anggota biasa, kegiatannya juga banyak banget. Tugasnya berat dan rumit. Apalagi Pak Komandan? Pak Komandan pemimpinnya. Kepalanya. Jadi pasti jelas ada pertanggungjawaban lebih besar yang sedang diemban oleh Pak Komandan."

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang