15. Kenapa Tiba-Tiba?

2.8K 236 53
                                    

🔫 Agam

Pagi telah tiba. Maka tentu saja, kegiatan sibuk dan pekerjaan sudah selalu ada. Hal pasti yang harus bisa kuselesaikan semuanya. Sebab kewajiban memang jelas tak mungkin bisa untuk ditinggalkan begitu saja.

"Ibu, Mamas berangkat sekarang ya."

"Iya, Mas. Hati-hati ya."

"Bapak masih sepedaan?"

"Masih dong. Tadi pagi, selesai sholat subuh, udah janjian sama teman-teman Bapak. Jadi kayaknya, selesai nanti jam 10. Tapi nanti, kalau Bapak mau lanjut renang, ya berarti mungkin keluar lagi sampai mendekati zuhur."

"Ibu mau ikut?"

Ibu langsung tersenyum cerah sekali. "Ikut nemenin Bapak renang aja."

"Kenapa cuma nemenin? Ikut renang juga dong, Bu."

"Nggak lah. Ibu mau jajan aja. Enak. Hangat-hangat."

Ah Ibu memang selalu suka dengan segala macam kudapan enak.

Baru selesai berpamitan dan mencium punggung tangan serta pipi Ibu, panggilan dari adikku tercinta jadi sedikit mengejutkanku.

"Mas."

"Iya, Dek."

"Nanti, ada poli vaksin di markas?"

Aku lekas menganggukan kepalaku. "Iya, Dek. Ada. Kenapa? Ada temannya Adek yang mau ikut vaksin booster dosis kedua?"

Alya langsung menunjukan gelengan kepalanya.

Dan ada apa dengan maksud senyum merekah dan kerlingan mata jahil yang sedang ditunjukan adikku tercinta?

Apa maksudnya?

"Kenapa senyum Adek jadi cerah banget kaya gitu? Hm? Adek mau minta apa sama Mamas?"

"Adek lagi nggak mau minta apa-apa. Tapi Adek mau nitip sesuatu sama Mas Agam."

Tapi rasa-rasanya, sesuatu yang akan Alya katakan jelas sekali adalah hal yang tak biasa.

"Nitip apa?"

"Titip salam."

Benar saja tebakanku. Jawaban Alya sungguhan jadi semakin menggugah rasa penasaranku.

"Salam?"

"Iya, Mas. Salam."

"Buat siapa salamnya? Kenapa harus titip lewat Mamas?"

"Soalnya salamnya buat Mba Amel. Jadi harus Mas Agam yang menyampaikan."

Maka ini adalah nama baru yang sangat berhasil untuk membulatkan kedua mataku.

"Mba Amel?"

"Iya dong, Mas. Dokter Amalia."

Kenapa Alya jadi bisa menarik tema obrolan soal dokter Amalia?

"Kenapa Adek manggil dokter Amalia jadi Mba Amel?"

"Kata Mba Amel sendiri yang bilang gitu sama Adek. Memangnya, Mamas nggak tahu?"

Dengan begitu lugu, aku langsung menggelengkan kepalaku. "Nggak tahu."

Dan Alya malah jadi terkekeh sambil menepuk-nepuk bagian dadaku.

"Makanya, Mamas Ganteng, jangan suka dingin banget dong. Jangan galak terus mukanya. Nanti banyak orang jadi takut. Agak hangat gitu. Biar bisa cepat lumer."

Aku jadi langsung mengeluarkan tanda waspadaku. "Apa maksudnya nih Adek jadi ngomong begini?"

Suara kekehan adikku langsung mengudara. Dan kenapa Ibu juga jadi ikut tertawa?

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang