53. Begini Lagi?

1.8K 199 30
                                    

🔫 Agam

"Terimakasih, Ndan."

"Ya. Sama-sama, Bu Ninda."

Aku baru saja ingin beranjak pergi. Tapi tawaran dari Bu Ninda membuat langkah kakiku langsung terhenti.

"Sudah waktunya istirahat. Komandan Agam, mau makan siang bersama?"

Aku jadi sedikit mengernyitkan satu alisku. Karena kenapa binar mata cerah langsung Bu Ninda tunjukan untukku?

Apa tujuan Bu Ninda sampai memberikan ekspresi secerah itu padaku?

"Oh. Maaf. Tidak perlu. Kalau Bu Ninda ingin makan siang, silakan, sendirian."

"Tapi kalau makan siang bersama, pasti akan lebih nikmat lagi rasanya."

Dan kenapa pula nada suara Bu Ninda jadi kentara sekali sedang ingin memaksaku supaya mau mengabulkan permintaannya?

Aneh sekali.

"Sekali lagi, maaf. Tapi menurut saya, tidak perlu sampai seperti itu. Karena nikmat atau tidaknya suatu makanan, kita sendiri yang bisa mengaturnya. Tak perlu orang lain yang jadi alasan pendukungnya."

"Tapi, saya ingin sekali makan siang bersama Komandan Agam. Jadi, apa Pak Komandan tak bisa mengabulkan permintaan baik dan sederhana dari saya?"

"Tapi, maaf, saya tidak ingin makan siang bersama Bu Ninda. Jadi, permisi."

Aku jadi makin menunjukan ekspresi kerasku. Saat Bu Ninda berani sekali menghalangi langkah kakiku.

"Bukankah tak nyaman jika menolak sebuah tawaran baik dari seseorang? Apalagi, saya dan Pak Komandan, sudah cukup lama saling mengenal."

"Tapi bukankah lebih tidak sopan, ketika Bu Ninda yang seorang perempuan, jadi berani sekali memberikan pemaksaan pada seorang laki-laki? Apalagi, ketika sejak tadi, saya jelas-jelas sudah selalu menunjukan penolakan? Karena Bu Ninda pasti masih paham tentang bagaimana tata krama dalam pekerjaan. Bukan begitu?"

"Tapi sebuah tawaran baik, memang seharusnya diterima. Bukan begitu, Ndan?"

"Apa ini Bu Ninda sebut sebagai tawaran baik? Makan siang berdua, hanya untuk 2 orang, yang statusnya hanya sebatas rekan kerja? Saya rasa, ini bukan tawaran baik. Tapi sikap lancang, yang seharusnya, tak Bu Ninda lakukan. Apalagi dengan saya, yang jelas sudah punya calon istri."

"Saya masih beritikad baik, karena tawaran saya memang tidak macam-macam."

"Dan saya juga masih sangat baik, karena sejak tadi, saya sudah mengucapkan kata maaf ketika menolak. Lalu kenapa Bu Ninda tak bisa langsung paham? Apa nilai bahasa Bu Ninda kurang, sampai tak bisa mengetahui bahwa lawan bicaranya sedang merasa tidak berkenan?"

Bu Ninda jadi bungkam.

Dan aku sungguhan tak peduli dan tak ingin untuk memberikan ketenangan. Jadi kalimat tegas kembali ku lontarkan.

"Jadi, silakan, Bu Ninda istirahat. Mau makan, atau apa pun itu, terserah. Bukan jadi urusan saya. Tapi jangan lagi berani mengusik saya dengan mengatakan kalau saya harus mengabulkan permintaan Bu Ninda. Karena itu jelas bukan jadi kewajiban saya."

"Tapi, Pak Komandan ..."

"Dan sepertinya, Bu Ninda salah menilai saya."

"Maksud Pak Komandan?"

"Jika Bu Ninda menganggap saya adalah golongan laki-laki yang mudah. Maka harus saya katakan, juga akan saya tekankan, bahwa saya sangat tidak suka basa-basi dengan seseorang. Karena jelas masih banyak hal penting yang harus saya kerjakan. Permisi."

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang