39. Senjata Makan Tuan

2.4K 237 48
                                    

🔫 Agam

"Assalamu'alaikum."

Baru membuka pintu, tapi seruan hangat dan rentetan berbagai macam pertanyaan sudah langsung diutarakan padaku.

"Alhamdulillah. Akhirnya, yang ganteng udah pulang." Bapak dan senyum teduh yang penuh sekali dengan wibawa.

"Anak gantengnya Bapak Ibu, gimana? Ketemu sama calon Papa Mama, lancar semua, kan?" Ibu yang selalu membuat senyumku jadi terkembang dengan begitu sempurna, karena banyaknya tulus dan kasih yang beliau punya.

"Duh. Ini, yang ganteng, akhirnya nggak jomblo lagi." Mas Andri, yang sambutannya kentara sekali ingin menggodaku saat ini.

"Lancar semua kan, Dek? Bapak Ibu mau mantu lagi nih." Mba Anggun yang untung saja jahilnya tak seperti suaminya. Jadi semua bentuk ledekan dari Mba Anggun bisa selalu sangat kuterima.

"Gimana, Mas? Mba Amel beneran mau jadi Mba buat Adek, kan?" Dan ini yang tercinta. Adik perempuan super baik hati yang selalu semangat sekali tentang semua ceritaku bersama Amalia.

"Pakdhe Ganteng, kenapa Pakdhe pergi, tapi nggak ajak Mba Shilla?" Princess cantik yang kini sudah berlari memeluk kakiku dengan ekspresi cemberut yang membuatku jadi langsung menggendongnya. Karena jangan sampai princess ini semakin merajuk. Atau bisa gawat acara untuk membujuknya.

"Iya, Om. Curang banget. Om Agam udah nggak bestie nih sama Arkan dan Shilla. Soalnya sekarang, kalau main, suka diam-diam." Dan ini juga. Jagoan yang kini sudah langsung ikut gelendotan di punggungku dengan pukulan-pukulan kecil sebagai tanda protes Arkan dan Arshilla.

Ya. Biarkan Duo Bocil ini menyampaikan semua keluh kesah mereka. Akan selalu bisa kuterima. Karena aku jelas sangat menyayangi mereka berdua.

"Iya. Kenapa Pakdhe Ganteng pergi naik mobil, jauh juga, tapi nggak ajak Shilla sama Mas Arkan?"

"Iya, Om. Arkan sama Shilla kan mau jalan-jalan juga."

"Iya, Pakdhe. Pakdhe Ganteng baru pulang dari perang. Jadi Shilla sama Mas Arkan udah pasti kangen banget pengin main-main lagi."

Semua rentetan pertanyaan ini kuterima dengan senyum yang begitu senang.

Tapi saat giliran Ardiaz yang melontarkan pertanyaannya, entah kenapa, langkah kakiku langsung bergerak cepat sekali ingin segera memeluknya.

"Pak Komandan, gimana? Mengejar restu yang tercinta, berhasil dong pastinya."

"Diaz." Panggilku dengan suara sedikit terbata. Yang berhasil membuat Arkan dan Arshilla langsung menghentikan tanda protes mereka.

Duo Bocil yang tadi masih asik sekali menyerangku, akhirnya mau untuk turun dari tubuhku. Jadi kini langkah kakiku sudah langsung berjalan cepat sekali mendekati adik laki-lakiku.

Tapi pelukan erat dariku malah dibalas dengan kekehan oleh Ardiaz. "Wah. Kenapa nih? Tumben banget yang galak bisa jadi mellow kaya gini?"

Dengusanku jelas langsung keluar. Diiringi tinjuan kecil yang kuberikan di punggung Ardiaz, sebab adik laki-lakiku ini sudah tertawa dengan begitu senang.

"Puas-puasin deh ketawanya. Silakan. Sebelum besok kuseret kamu ke lapangan tembak."

"Oh. Tenang aja, Mas. Ancamannya bakal langsung bisa kuterima. Soalnya habis itu, Mas Agam juga harus bisa balapan naik pesawat sama aku. Di langit. Bukan di darat."

Telak.

Langsung pecah.

Semua anggota keluargaku jelas langsung tertawa dengan begitu bahagia.

Prawira Laksamana ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang