🥤47. Hari Mendung

63 12 3
                                    

Gue dan Mahen memasuki sebuah kawasan pemakaman dengan mobil, hingga sampai di titik yang cukup diramaikan pelayat dan dua buah ambulans kami mulai melangkah sedikit menanjaki area pemakaman, saat itu bertepatan dengan rombongan pelayat yang mulai...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue dan Mahen memasuki sebuah kawasan pemakaman dengan mobil, hingga sampai di titik yang cukup diramaikan pelayat dan dua buah ambulans kami mulai melangkah sedikit menanjaki area pemakaman, saat itu bertepatan dengan rombongan pelayat yang mulai bubar.

Lalu gue melihat Cakra dan Joshua mendekat pada Riza yang sudah tergugu ditengah dua pusara orang tuanya, setelah sebelumnya Cakra hanya mengawasi dari barisan pelayat.

Gue dan Mahen sampai dipusara yang tinggal di kelilingi beberapa orang itu, Cakra yang mendapati kehadiran gue tampak terkejut sesaat sebelum ia bangkit dan menggenggam tangan gue tuk berada di dekatnya.

Diseberang kami ada Will berdiri dengan kaca mata hitamnya yang dapat gue lihat tengah memandang benci pada gue dan Cakra disini.

Gue begitu kasihan melihat Riza yang tengah dirundung duka terlalu berat, spontan saja rasa empati sebagais sesama wanita dan anak manusia didalam batin gue memaksa lepaskan genggaman tangan Cakra dan gue bersimpuh disamping Riza dan mengusab-usab punggungnya coba menenangkan. Akhirnya Riza pun menyadari kedatangan gue dan Cakra tatkala saat itu.

Ia memandang Cakra begitu tajam sekaligus sendu disaat bersamaan, seolah menunjukan betapa besarnya amarah yang ia punya pada Cakra yang bahkan setelah semua sakit itu masih belum bisa Riza benci seutuhnya.

"Beraninya... Kalian datang kemari!" Tiba-tiba Riza mendorong tubuh gue hingga gue limbung ke kebelakang, lalu gadis itu bangkit dan menghampiri Cakra dan mencengkram jas pria itu erat-erat seraya mulai terisak kembali. Dan yang selanjutnya terjadi, Riza memaki-maki Cakra serta gue, sebab ternyata sebelum mamanya meninggal pemintaan terakhir beliau adalah ingin ketemu Cakra untuk menyampaikan sesuatu.

Namun semalam, Cakra tak menggubris sebab ia pikir palanggilan telepon dari Cakra hanyalah perihal urusan hati mereka, yang semalam tengah malas ia bahas.

Seketika gue merasa begitu bersalah, semalam selain kelelahan, Cakra pasti tengah begitu kesal sebab merasa dipermainkan oleh seorang Jovan, hingga ia tak bisa menikmati kemenangannya di arena balab karena aslinya semua orang tahu, kemenangan itu adalah pemberian dari Jovan. Dan itu sangat memalukan bagi diri Cakra!

Namun, jika dibanding dengan keadaan ini, gengsi dan emosi Cakra semalam menjadi satu hal yang konyol. Sebab hanya karena perkara malu Ia jadi mengabaikan sebuah permintaan terakhir orang ditengah perjuangan hidup dan matinya.

Terlebih orang utu adalah ibunda Riza yang sejak lama selalu mendukung Cakra untuk membahagiakan putri semata wayangnya yang ia tahu juga mencintai Cakra sejak kecil.

Cakra hanya bisa tertunduk diam menerima semua pukulan dan cercaan Riza yang emosi padanya, sampai akhirnya gadis itu jatuh pingsan dan lekas di bawa Will ke mobil.

Setelahnya, Cakra melangkah Gontai menghampiri dua nisan baru dari dua orang yang cukup dekat ia kenal itu.

Gue pun ikut berjongkok dan menyentuh pundak Cakra. Pria itu sedang ada di titik terendahnya karena terbelenggu dalam perasaan amat bersalah.

Our Blue Sky : JOVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang