Prolog

26.9K 777 3
                                    

Kaki panjangnya melangkah pasti, menuju salah satu ruangan besar yang dihuni pemilik Perusahaan ini. Tangannya yang kekar ia gunakan untuk mengetuk pintu bercat hitam itu, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memegang setumpuk berkas.

"Assalamualaikum warahmatullah!" ucapnya, seraya mengetuk pintu.

Jeda beberapa detik, hingga balasan salam pun terdengar dari dalam.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masuk!" suara bariton itu terdengar samar karena kondisi pintu masih tertutup.

Laki-laki itu membuka kenop pintu, lantas masuk ke ruangan itu dengan langkah percaya diri. Ia berdiri di depan meja Pimpinan untuk menyerahkan berkas yang dibawanya.

"Ini berkas yang telah saya kerjakan, Pak. Boleh dicek terlebih dahulu." Ia menyerahkan berkas tersebut dengan sopan pada sang Pimpinan, lalu menjelaskan secara rinci apapun yang ditanyakan oleh Pimpinan.

"Bagus!" puji Pimpinan. Ia tersenyum tipis menatap orang yang bertugas sebagai tangan kanannya.

"Malam ini kamu tidak usah lembur, dan bisakah kamu menyempatkan waktu untuk makan malam bersama keluarga saya?"

Pria itu mengerjap beberapa kali, saat mendengar tawaran dari atasannya yang pasti sangat diharapkan oleh orang lain itu.

Ia bergeming, mempertimbangkan baik buruknya. Setelah cukup yakin, akhirnya ia pun bisa menjawab dengan pasti.

"Insyaallah, saya bisa. Tapi, saya izin sholat isya terlebih dahulu." ucapnya penuh kesopanan.

Hal itu membuat Pimpinan tersenyum lebar. "Mari, saya juga hendak sholat di Masjid sana." ajaknya seraya bangkit.

Pria itu setia mengikuti Pimpinan dari belakang, sesekali menyapa rekan kerjanya saat berpapasan, ada yang tengah bersiap untuk pulang ada juga yang hendak lembur.

Setelah berjalan cukup jauh dari gedung tersebut, tiba-tiba Pimpinan berbalik dan memanggilnya.

"Al..."

"Iya, Pak?" jawab Al sigap.

Pimpinan menunjuk sebelahnya dengan dagu. "Sini, jalannya di samping saya aja."

Al mengangguk sopan seraya tersenyum, "baik, Pak."

Keduanya terlihat akrab sembari berbincang-bincang, mereka tampak seperti Ayah dan Anak, apalagi ketika Pimpinan menepuk pundak Al seraya memberikan nasihat.

Kondisi Masjid lumayan sepi, karena waktu isya memang sudah lewat beberapa menit yang lalu. Mereka sholat berjamaah, bergabung dengan jamaah yang lain.

Selesai sholat berjamaah, dilanjutkan dengan dzikir dan berdoa. Namun, ada juga beberapa orang yang keluar dari shaf.

Setelah beres, Al meraih tangan Pimpinan dan didekatkan pada ujung hidungnya. Itu sebagai tanda bahwa ia memuliakan orang tua.

Dua Pria itu kembali menuju Perusahaan untuk membereskan barang-barang pribadi mereka. Lalu, bersepakat untuk menunggu di parkiran utama.

Al berlari ke arah mobil pribadi milik Pimpinan, lalu ia dipersilahkan masuk dan duduk di kursi penumpang bersama Pimpinan.

Jangan tanya mobil Al ke mana, entah kebetulan macam apa. Hari ini, Al tidak membawa kendaraannya ke kantor, ia diantar oleh Abinya ke sini, sebab mobilnya akan digunakan Abi untuk berkunjung ke rumah saudara di Bandung.

Obrolan mereka hanya seputar masalah Perusahaan saja. Saat di mana mereka membahas hal lain. Pimpinan malah berbelok ke arah pembicaraan yang lumayan sensitif bagi Al.

"Kamu kapan nikah, Al?" pertanyaan itu tidak terdengar seperti biasanya orang-orang bertanya pada Al. Ini terdengar serius.

Al terdiam cukup lama, netranya menatap tangannya yang bertumpu pada paha.

"Insyaallah, kalau sudah ada jodohnya."

Pimpinan mengangguk, pandangannya menyapu jalanan yang sangat ramai lalu-lalang kendaraan. 

"Kalau menikah dengan putri saya, bagaimana?"

Al spontan mengangkat kepalanya, lalu menatap ke arah Pimpinan dengan raut kebingungan yang sangat kentara.

Hendak bertanya untuk memastikan, namun Al mengurungkan niatnya saat melihat urat leher Pimpinan mengeras.

Berusaha mencerna sesuatu, Al akhirnya menemukan jawaban. Bahwa Pimpinan tengah mengamati objek yang berada di depan sebuah club.

Tunggu! Club?

"Pak, stop!" Pimpinan memerintahkan sopir untuk menghentikan mobilnya dan langsung dituruti tepat berhenti di sebuah bangunan tersebut.

Pimpinan langsung turun dari mobil dengan cepat, diikuti oleh Al dari belakang. Namun Al segera menghentikan langkahnya, ia tidak ingin terlibat dan berniat menunggu pimpinan saja di dekat mobil.

Tiga orang perempuan itu langsung panik kala melihat Pimpinan berjalan ke arah mereka. Namun, karena kondisi mereka yang setengah sadar, tentu mereka tidak bisa kabur secara cepat, hal itu mampu membuat Pimpinan dengan mudah menarik tangan salah satu perempuan tersebut.

"Pulang!" pekik Pimpinan dengan suara menahan amarah. Perempuan itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat.

Pimpinan membawa perempuan itu masuk ke dalam mobil lantas menyuruh Al untuk duduk di kursi sebelah sopir.

Al menurut saja, ia tidak berani membuka mulutnya.

Mobil kembali melaju berbaur bersama kendaraan yang lain. Al menundukkan kepalanya, mungkin ia berencana akan tidur sejenak.

"Emira! dengar Papa!" suara bentakan itu langsung masuk ke indra pendengaran Al. Dan langsung membuat jantungnya berdetak cepat. Nada suara itulah yang paling ditakuti seluruh penghuni kantor.

Al belum pernah mendengar apalagi mendapatkan bentakan dari Pimpinan, ini adalah pertama kali baginya. Sepertinya, Pimpinan benar-benar sangat marah saat ini.

"Emira!"

***

Semoga kalian penasaran, dan jatuh suka! <3

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang