46

4.7K 276 2
                                    

Luka yang kemarin sempat tercipta, perlahan sembuh karena terobati oleh cinta orang-orang di sekitarnya.

Al mengusap perut besar itu dari belakang. Bibirnya tertarik saat merasakan tendangan dari calon buah hatinya. Namun, saat mendengar ringisan istrinya, ia berubah panik.

"Sakit ya sayang?"

Emira tersenyum manis, lalu mengangguk singkat. "Tapi suka." Benar, ia sangat menyukai momen seperti ini.

Al berpindah posisi menjadi berdiri dengan lututnya di depan perut Emira. Laki-laki itu akan memulai aksinya yang selalu membuat Emira terkikik geli karena tingkahnya.

Al menyingkap pakaian terusan istrinya hingga perutnya terpampang jelas di depannya, ia memerintahkan Emira untuk memegang ujung baju itu.

Di tangannya sudah ada gel untuk ibu hamil yang entah kapan diambilnya. Al membuka tutup gel itu lantas membaluri di perut istrinya, dirasa cukup menuang. Al langsung mengoles menggunakan tangannya dengan gerakan lembut.

Mulutnya terus mengajak bicara hal apapun pada calon buah hatinya. Perkataan tidak jelas suaminya itu yang kadang membuat Emira merasa tergelitik.

"Anak ayah kalo lahir mau ayahnya pake baju warna apa?"

"Nak, kalo kamu lahir harus jadi orang ganteng ya? kalo perempuan berarti harus cantik kayak buna."

"Kalo sudah ada di dunia, harus jadi anak yang sholeh sholehah dan mampu berjuang demi agama Allah ya, nak."

"Nanti kamu bakal suka sup kayak bunamu, atau suka sambal terasi kayak ayah?"

Dan masih banyak pertanyaan dan obrolan acak lainnya.

Emira menarik lengan suaminya agar berdiri.

"Jangan lama-lama, nanti sakit."

Al tersenyum, mengacak pelan rambut istrinya. Lantas ia rangkul bahunya menjauhi jendela kamar.

"Pake jilbab dulu sayang, kita sarapan."

Al membantu istrinya berpakaian. Terakhir, ia menyelipkan anak-anak rambut yang muncul di sela-sela ciput yang terpasang di kepala istrinya.

"Udah, cantik."

Emira tersenyum lebar mendengar pujian dari suaminya. Pipinya langsung bersemu.

"Ayo, Mas!" ajaknya menyeret lengan Al keluar kamar. Berusaha menutupi semburat merah di pipinya.

Al terkekeh, tangannya naik ke atas untuk mencubit gemas pipi tembam istrinya.

Emira melepas rangkulan pada pinggangnya, ia menghampiri sang mama yang tengah sibuk menyiapkan sarapan bersama pembantu di rumah ini.

Seperti biasa, Salamah akan memasak dengan porsi banyak, mengingat orang-orang yang bekerja di rumahnya terhitung banyak. Jadi ia selalu membagikan masakannya untuk mereka cicipi.

"Selamat pagi mama cantik." ucap Emira riang, mengecup pipi kanan mamanya.

Salamah mengusap pipi anaknya yang berada di bahu. Bibirnya menyunggingkan senyum.

"Pagi anak mama." balasnya.

Al tersenyum menyaksikan interaksi ibu dan anak itu yang memanjakan mata. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan kedua wanita yang menjadi tanggung jawabnya.

Salamah meminta Al dan Emira untuk tinggal di rumah miliknya. Al pun menyetujui keinginan mertuanya, hingga Emira sangat senang dengan keputusan itu. Al dan Emira mengisi kamar kosong yang berada di lantai bawah. Karena mereka tidak mau menanggung resiko jika menempati kamar Emira di lantai dua.

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang