6

10.6K 607 3
                                    

Suasana hening dalam mobil yang baru dibeli Al ini membuat keadaan terasa canggung. Al sengaja membeli mobil ini saat selang sehari sebelum menikah, semacam hadiah untuk istrinya, katanya. Biarkan mobil yang biasa ia pakai itu digunakan oleh Abinya saja. Ya, walaupun nanti tidak terurus, karena Abi bukan tipe orang yang suka otomotif.

Dengan inisiatif, Al menyalakan head unit dan memutar lagu Sepanjang hidup- Maher Zain.

Suasana agak mulai mencair. Al melirik ke samping, ke arah istrinya yang tengah menatap jalanan. Gaun pengantin masih melekat ditubuh istrinya, gaun yang dibelikan Uminya.

Mereka tidak sempat ganti, karena semua barang serta pakaian milik pribadi sudah diangkut ke Rumah baru, dua hari yang lalu.

"Mau makan apa? Kita beli pakaian dulu ya, buat ganti." tanya Al hati-hati.

"Nanti aja di Rumah," jawaban itu lagi yang keluar dari mulut Emira.

Al kembali melirik istrinya yang terlihat lesu.

"Kenapa? Sakit?"

"Sakit perut," jawab Emira lesu.

"Makanya, makan dulu ya, sayang?"

Emira menahan napasnya serta meneguk ludahnya susah payah. Namun ia tetap mempertahankan dirinya untuk bersikap biasa saja.

Al menggaruk belakang kepalanya setelah dengan spontan mengatakan itu.

"Nanti aja di rumah," mendengar nada bicaranya yang berbeda, Al memilih mengalah.

Ia akan mengingat selalu, wejangan dari ibu mertuanya, tentang bagaimana cara menghadapi istrinya yang katanya masih labil itu.

Sampailah mereka di pekarangan Rumah yang cukup besar jika dihuni oleh dua orang saja.

Al mengikuti prinsip Uminya, ia tidak akan menyewa seorang pembantu ketika dirinya masih mampu mengatasi masalah pekerjaan rumah tangga.

Emira langsung membuka pintu, begitu mesin mobil dimatikan. Ia berjalan terlebih dahulu, lalu menunggu suaminya untuk membukakan pintu.

Al menatap diam istrinya itu.

Keduanya memasuki Rumah itu setelah mengucapkan salam tak lupa menutup pintu.

Al mengikuti langkah kecil istrinya yang memasuki kamar mereka yang bernuansa putih bersih. Kemudian ia duduk di pinggiran kasur, menyangga tubuhnya dengan kedua tangan. Kalimat thayyibah terus keluar dari mulutnya.

Ia mengamati istrinya yang tengah sibuk mengeluarkan alat dan bahan pembersih make-up. Al berniat membantu, namun urung karena ia tak paham dengan hal itu.

Emira mulai duduk di depan cermin dan mulai melaksanakan kegiatannya. Hal itu tak lepas dari pandangan suaminya.

Al membelalakkan matanya, ketika Emira melepas hijabnya tanpa terlihat ragu. Jantung Al berdentum keras, matanya tidak tenang, hendak mengalihkan namun ia juga berkeinginan untuk melihat.

Emira melepas hijabnya dengan mudah, hingga rambutnya yang diikat itu terlihat, begitupun dengan kulit lehernya.

Al mengucap istighfar dan kalimat sabar berkali-kali, kemudian ia merebahkan tubuhnya dengan kaki yang masih menggantung.

Matanya terpejam, serta mulutnya yang terus berkomat-kamit.

Curiga dengan bunyi yang grasak-grusuk masuk ke gendang telinganya. Al mencoba mengangkat sedikit kepalanya untuk mencari tahu. Ketika membuka matanya, ia kembali tertidur terlentang seperti orang pasrah.

Bagaimana tidak? Istrinya tengah membuka pakaian akad itu dan hanya menyisakan kaos pendek beserta hotpants saja yang melekat di tubuhnya.

Mungkin itu hal yang biasa bagi Emira, karena ia terbiasa tidak menutup aurat secara sempurna. Tapi, tidak biasa bagi Al. Apalagi dalam ruangan seperti ini, hanya berduaan saja.

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang