9

9.1K 494 2
                                    

Al terbangun karena merasakan tubuhnya yang sakit. Matanya terbuka, dan langsung melihat perempuan dalam pangkuannya.

Menyadari ia sudah memiliki istri, Al tersenyum kecil lantas mengecup istrinya. Kemudian, matanya melirik ke arah jam dinding, yang menunjukkan pukul setengah empat.

Segera Al menurunkan istrinya dengan hati-hati, dan membaringkannya dengan posisi yang nyaman.

Al mengusap mata istrinya yang bengkak, lalu mengecupnya secara bergantian.

Setelahnya, Al segera membersihkan diri untuk segera melaksanakan sholat malam, dilanjut dengan sholat subuh. Ia memilih untuk sholat di kamarnya saja, karena khawatir dengan kondisi istrinya.

Suara lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan Al mengalun indah di kamar. Hal itu membuat Emira terbangun dari tidurnya, hatinya tersentuh, bahkan air matanya ikut turun.

Sudah lama sekali dirinya tidak menyentuh sekalipun kitab suci tersebut. Hatinya merasakan sesak, saat indranya menangkap ayat-ayat suci yang dibacakan tersebut.

"Shadaqallahul 'adziim." Al menutup mushaf tersebut lantas menciumnya, kemudian ia menaruhnya di atas rak buku dilanjutkan dengan melipat sajadah.

Al melihat istrinya dengan mata sedikit menyipit, ia mendapati punggung istrinya yang bergetar. Merasa khawatir, ia langsung menghampirinya dan berdiri di samping istrinya, kemudian menunduk.

"Sayang..." ucap Al mencondongkan kepalanya untuk melihat sang istri lebih dekat. Tangannya ia gunakan untuk mengusap lengan istrinya.

"Kenapa?" tanya Al.

"Sakit?" Al mengecup kepala sang istri. Emira menggeleng kecil untuk menjawab.

Al menghela napasnya, kemudian menarik tubuhnya.

"Kalo ada apa-apa kasih tau saya, ya." Tidak mendapat jawaban lagi dari istrinya, Al lanjut bertanya. "Sekarang mau sarapan apa?"

Al bergeming menatap punggung kecil istrinya, lalu menghembuskan napas beratnya. Ia pun memilih untuk bersiap.

"Ya, udah. Aku mau siap-siap berangkat kerja dulu, ya."

Perkataan itu mampu membuat Emira bertanya-tanya dalam hati.

"Seriusan dia langsung kerja? Gak cuti dulu gitu?"

"Gue jadi makin curiga, nih."

"Kayaknya, dia beneran dapat sesuatu dari Papa, deh."

Batin Emira terus mengeluarkan prasangka buruk pada suaminya. Hingga sebuah ide terlintas di kepalanya.

"Apa gue tahan aja ya, om itu. Supaya gak kerja selama beberapa hari?" batinnya bertanya pada dirinya sendiri.

"Nah, kan. Kalo gak kerja selama itu, pasti kerjaan dia jadi numpuk, dan gak selesai-selesai." senyum devil muncul di wajahnya. "Sedangkan, Papa gak suka sama orang yang suka numpuk kerjaan."

"Fiks, dia bakalan dipecat!" batinnya berseru senang.

Emira menarik napasnya, lantas menghembuskannya perlahan.

"Mari kita mulai dramanya, Emira." titahnya dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.

Emira bingkas dari posisi berbaring, kemudian duduk bersila di atas kasur. Matanya menatap sekeliling mencari keberadaan suaminya. Kemudian terhenti pada pintu kamar mandi yang tertutup, mungkin sedang berganti pakaian.

"Bonusnya lumayan, lah. Bisa manja-manjaan sama orang ganteng." Sisi sadarnya saja mengakui, bahwa suaminya yang sering disebutnya 'om' itu memang tampan, sangat tampan malah.

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang