Selamat membaca teman-teman 💐
Jangan lupa, utamakan membaca Al-Qur'an ❤️
Mohon tinggalkan jejak 👣
***
"Bego! Kenapa baru sadar tuh restoran deket sama rumah gue yang sekarang!" gerutu Emira sambil memukul dahinya beberapa kali.
Emira pergi begitu saja meninggalkan tiga teman-temannya, dan hanya meninggalkan dua patah kata saja sebelum berlari keluar restoran untuk mencegat taksi.
"Gue ketahuan!" pekik Emira dari jauh, hingga raut bingung terpancar dari wajah teman-temannya.
Emira memijat pelipisnya saat merasa pening. Biarlah, ia akan mengurusnya setelah masalah dengan suaminya selesai.
Emira menyetop taksi saat mendekati gerbang rumahnya. Ia keluar dengan tergesa setelah membayar tip.
Matanya melirik pada mobil yang sudah terparkir di tempat seperti biasa. Ia lanjut berlari menuju pintu utama.
Napas Emira memburu, tatapannya mengedar mencari sosok yang dicarinya. Setelah tidak ditemukan, ia beranjak menuju kamarnya.
Kaki Emira sedikit terkilir saat menaiki tangga dengan tergesa. Ia menatap pintu balok yang tertutup rapat, kemudian menekan kenop pintu dan mendorong pelan, hingga punggung pria yang tengah duduk di pinggiran kasur nampak tengah membungkuk.
"Pak..." panggil Emira dengan lirih. Jujur ia sangat takut menghadapi murka suaminya.
Kepala yang tadinya menunduk, kini menegak. Kemudian memutar berusaha menatap Emira yahh berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.
Dapat Emira lihat mata laki-laki itu merah lalu turun untuk melihat bibir tebalnya yang tersungging tipis. Hal itu mampu membuat bagian dada Emira terasa dicubit.
Emira melangkah untuk mendekati punggung yang masih menghadap pada jendela kamar yang terdapat balkon.
"Pak..." panggil Emira lagi. Kini jaraknya semakin dekat dengan posisi Al.
"Diam di situ," titah Al dengan suara rendah, kepalanya kembali tertunduk.
Emira ingin menangis saja rasanya. Gadis seumuran dia sudah dihadapkan dengan masalah rumah tangga yang pelik. Emira mengesampingkan kelabilannya, ia terus mendoktrin otaknya bahwa kedewasaan seseorang itu tidak dilihat dari usia.
Emira bisa dewasa, harus dipaksa dewasa! Seperti itu kira-kira.
"Kenapa?" Kepala Emira langsung terangkat mendengar lirihan itu dan menatap sang pembicara yang ternyata enggan menatapnya.
"Maaf..." lirih Emira, "maafin saya," ulangnya penuh penyesalan.
"Saya bisa jelaskan," ucap Emira.
Matanya mengikuti gerakan Al yang hendak bangkit, kemudian berdiri menghadap ke arahnya dengan sorot lelah. Kaki panjang Al melangkah lunglai ke arah istrinya.
Emira yang ketakutan semakin, panik saat melihat Al mendekat. Takut akan mendapatkan kekerasan.
"Pak, saya bisa jelasin! Saya mohon, jangan sakiti saya! Saya janji gak akan ngulangin lagi!" Emira terus berbicara dengan gestur tubuh panik, bahkan bola matanya bergerak tak tentu arah.
Emira semakin takut ketika sosok Al sudah berdiri menjulang di hadapannya. Mulutnya terbuka hendak kembali berbicara, namun terpotong dengan reaksi Al yang tiba-tiba memeluknya, mendekap erat tubuhnya seraya menyandarkan kepalanya di bahu Emira.
Hening seketika, Emira mematung karena terkejut. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mencerna keadaan.
Tubuh Emira yang menegang kini telah rileks saat Al mengusap lembut punggungnya yang terekspos sedikit, bahkan jari tangan Al terasa menyentuh langsung kulit punggungnya.
Ragu-ragu Emira mengangkat kedua tangannya untuk membalas pelukan suaminya. Awal-awal terasa kaku, beberapa detik kemudian ia malah merasa nyaman dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya.
"Maafin saya..." ucapan Emira hanya terdengar seperti gumaman karena mulutnya terhalang dada Al.
Al mengeratkan pelukannya setelah Emira menyelesaikan ucapannya, hal itu membuat Emira sedikit sesak dan sedikit meronta.
Emira mendongak saat Al melepas pelukannya dan melengos pergi tanpa mau menatapnya. Emira menatap punggung berbalut kemeja putih itu yang sudah menghilang dari bingkai pintu.
Emira beranjak, mengikuti langkah Al yang ternyata membawanya menuju ruang kerja.
"Pak!" panggil Emira, ia berusaha menyesuaikan langkahnya.
Namun tidak ada sahutan dari Al. Laki-laki itu terus menatap lurus ke depan hingga mencapai pintu ruang kerjanya.
Al membuka pintu itu, saat berbalik hendak menutup tiba-tiba kehadiran Emira menghadang gerakannya. Al membiarkan pintu itu terbuka dan Emira pun masuk ke ruangannya setelah menutup pintu.
Emira menatap Al yang sedang membuka dasi. Lalu membuka kancing kemejanya.
"Pak, saya minta maaf." mohon Emira menundukkan kepalanya.
Hening, tidak terdengar suara pergerakan apapun.
Emira mengangkat kepalanya secara perlahan, dan langsung dikejutkan dengan serangan dari Al pada mulutnya.
Emira berusaha mengimbangi gerakan Al, namun tidak bisa, ia bisa merasakan emosi suaminya.
Merasa pasokan oksigennya menipis, Emira memukul dada Al untuk melepaskan tautan mereka.
Keduanya tampak terengah, Emira menatap iris legam Al yang menatapnya sayu.
"Sejak kapan?" lirih Al serak.
Emira terpaku, ia ingin menjawab jujur, tapi takut keadaan semakin memburuk.
"Dua bulan yang lalu?" tebak Al, ia semakin menatap dalam istrinya. "Tiga bulan yang lalu?"
Napas mereka kembali normal, Al mengeratkan pegangannya pada lengan Emira, membuat sang empu sedikit meringis.
"Kamu mau bohongi saya sampai kapan?" tanyanya lelah.
Hati Emira bagaikan ditikam belati saat mendengar penuturan Al yang tampak putus asa, apalagi tatapannya yang seolah pasrah.
Tersadar ia sedikit menyakiti istrinya, Al menarik tangannya dan memilih beranjak duduk di kursi kerjanya.
Ia menatap kosong layar laptop yang tidak menyala, namun mulutnya tetap digunakan untuk berbicara.
"Kalo kamu tidak ada niatan membenahi rumah tangga kita, atau tidak ingin berumah tangga dengan saya." ada jeda sejenak, Al menatap lurus wajah istrinya yang seperti akan menangis.
"Saya akan mengantar kamu kembali ke rumah papa."
***
Nyerah Pak Al?
Terima kasih untuk kamu yang sudah vote dan komen, semoga hari-harimu selalu diberkahi oleh Allah SWT ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKHAIRA [End]
روحانيات[BELUM REVISI] Gagal masuk ke perguruan tinggi impiannya, Emira melampiaskan segala emosinya dengan pergi ke sebuah club bersama teman-temannya. Saat perjalanan pulang dari Kantor, sang papa memergoki Emira yang keluar dari club dengan langkah semp...