5

10.4K 531 0
                                    

Dua hari ini betul-betul dimaksimalkan sebaik mungkin oleh Al. Segala persiapan telah ia urus dan selesaikan, contoh kecilnya seperti harus melengkapi syarat nikah.

Dua hari itu juga dipakai Al untuk lebih mengenali calon istrinya itu, tentu dengan melibatkan keluarga.

Konsep akad ia serahkan pada Mama Emira, karena beliau kenal dengan pemilik wedding organizer.

Mereka mengusung tema pernikahan syar'i. Yang mana selalu mengusung kesederhanaan. contohnya, seperti make-up pengantin tidak bertabarruj.

Tibalah di acara sakral, di mana hari yang ditunggu-tunggu oleh orang yang menantikan, kecuali Emira.

Al berkali-kali mengucap doa untuk memperteguh hatinya. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menyapu sekitarnya dengan perasaan haru, kemudian terhenti pada wajah sang ibu. Ia tersenyum manis, kala ibu mengusap punggungnya lembut.

Kanan kirinya diapit oleh orang tuanya, lalu di hadapannya ada sang wali nikah bersama penghulu dan saksi.

Ia mencari keberadaan adiknya yang duduk bersama keluarga yang lain terlihat sedang menahan tangisnya.

Al memejamkan matanya sejenak lantas menarik napas. Ia menjabat tangan Pimpinan yang sebentar lagi akan menjadi orang tuanya dengan yakin.

"Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka Binti Emira Tabina Salama alal Mahri adawaatish sholaati wa khaatami minadzdzahabi hallan." Bimantara mengucapkan kalimat tersebut dengan lugas.

Kini bagian Al, sesi yang membuat gugup semua orang.

Al menarik napas panjang, "Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha Emira Tabina Salama Binti Bimantara Cakra alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq." ucapnya jelas, tegas dan lugas.

"Bagaimana para saksi?" tanya penghulu.

"SAH!"

"Alhamdulillah! Baarakallahu likulli wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin." Penghulu mendoakan pasangan pengantin tersebut.

Al mengusap wajahnya, ia menatap kedua orang tuanya lantas memeluknya dengan rasa haru. Ucapan doa terus diucapkan pada Al.

Saatnya menunggu pengantin wanita turun, untuk menandatangani surat-surat.

Di dalam kamar, Dengan gaun putih yang membalut tubuhnya, Emira menangis dalam pelukan Mamanya. Ia terus meminta maaf atas seluruh kesalahannya selama menjadi anak. Kini, tanggung jawabnya telah berpindah sepenuhnya pada sang suami.

"Jadi istri yang sholih ya, nak." pesan Salamah berusaha tegar. Ia mengusap bahu anaknya yang bergetar.

Emira menarik wajahnya yang basah, kemudian ia berdiri mencium wajah sosok Ibunya itu.

"Ayo, yang di bawah pasti udah pada nunggu." ucapnya lembut seraya mengelap wajah Emira yang basah dengan tissue tanpa merusak make-up tipisnya.

Emira hanya menuruti ucapan Ibunya, ia dituntut dengan hati-hati keluar kamar menuruni anak tangga.

Suara pujian masuk ke gendang telinga Emira, namun hal itu belum meyakinkan dirinya untuk mengangkat wajahnya.

Emira meremas tangan ibunya, membuat sang ibu mengusap bahunya berusaha menenangkan.

Sesampainya di lantai dasar, Emira dibimbing untuk duduk di sebelah Al yang ternyata terus menatap ke arahnya.

Dengan jantung yang berdebar karena gugup, Emira memaksakan dirinya untuk duduk menghadap ke arah laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya itu.

Pekikan disekelilingnya terdengar heboh, apalagi suara Adik Al yang terdengar khas itu lebih mendominasi. Membuat pengantin baru itu benar-benar gugup.

Emira disuruh mencium tangan suaminya oleh sang Mama. Dengan tangan gemetar ia menjabat tangan Al lalu mendekatkannya ke hidung.

Al mengusap kepala sang istri dan membaca doa, "Allahumma baarikli fi ahli wa baarik li-ahli fiyya warzuqhum minni warzuqniy minhum. Allahumma inni as-aluka khairaha wa khaira maa jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha alaihi."

Emira meneteskan air matanya hingga jatuh pada punggung tangan Al. Entah, perasaan apa yang sedang dirasakannya. Mungkin karena tidak menyangka akan menikah dengan sosok yang tidak dicintainya.

Wajah Emira diangkat dengan lembut oleh Al, kemudian ia mendekatkan wajahnya. Lantas mengecup kening istrinya dengan tulus.

Momen itu tak lepas dari jangkauan mata para saksi serta tim dokumentasi.

Setelah menandatangani beberapa surat, pengantin baru itu akan melaksanakan sesi sungkeman. Lalu, kemudian sesi dokumentasi dengan keluarga inti maupun dengan keluarga besar yang turut hadir.

Al mengamati Emira yang terlihat kelelahan, tidak ada lagi ketakutan saat berinteraksi dengan pasangan halal.

"Mau makan dulu?" tanya Al lembut.

Emira menoleh saat ditanya, "Nanti aja." jawabnya singkat, kemudian ia kembali fokus mengipasi dirinya yang kepanasan.

"Sabar, ya. Bentar lagi juga udahan." ucap Al menenangkan, namun tidak mendapat respon apapun dari istrinya.

Setelah Zuhur, prosesi akad pun benar-benar telah selesai. Ruangan yang dipakai pun sedang disterilkan oleh pekerja yang ada di rumah ini dan pihak WO. Hingga semuanya beres dengan cepat.

Keluarga yang menghadiri sudah pulang ke Rumah masing-masing setelah makan jamuan.

Kini tiba saatnya, di mana Al dan Emira berpamitan untuk tinggal di Rumah baru mereka. Orang tua Al dan Emira berdiri di pekarangan Rumah besar itu.

"Gak, makan dulu, nak?" tanya Salamah cemas. Karena ia tahu rasanya jadi pengantin bagaimana.

"Kata Mira, nanti di sana aja, Ma." balas Al, ia tersenyum menenangkan pada mertuanya.

"Pada gak sabar ya kalian?" goda Umi. Andai saja Umi tahu yang sebenarnya, batin Al.

Al hanya tersenyum tipis menanggapi itu semua, begitupun Emira yang setia berdiri di sebelah Al.

Mereka saling bersalaman, meminta maaf, dan saling mendoakan yang terbaik untuk keberkahan semuanya.

Nabeela menangis di pelukan sang Kakak.

"Abang, sore ini juga, bila merantau lagi. Abang jaga ipar aku dengan baik, ya?" cicitnya. Al tersenyum lalu mengusap kepala Adiknya.

"Mau Abang dan istri Abang antar? Iya, insyaallah Abang akan selalu menjaga istri Abang dan mencintainya karena Allah." jelasnya.

Nabeela menggeleng, "enggak usah, aku udah biasa apa-apa sendiri, kok. Lagian, kan pengantin baru gak boleh diganggu." ucapnya diakhiri senyum jahil.

Mungkin untuk terakhir kalinya, Al mencubit pipi tembam Adiknya lumayan lama, hingga Nabeela memukul keras perut Al baru tangan itu terlepas.

Nabeela menatap tajam Abangnya, yang membuat pria itu terkekeh.

Sekarang giliran Nabeela yang berpamitan dengan sang Kakak ipar. Tanpa rasa canggung, Nabeela memeluk Emira.

"Mbak," lirih Nabeela. Seketika membuat Emira menjauhkan tubuhnya.

Nabeela Sempat bingung melihat reaksi Emira, namun segera terjawab ketika Emira bersuara.

"Panggil aku Mira aja, Mbak. Aku lebih suka itu." jelas Emira.

Nabeela bergumam sejenak, lalu tersenyum seraya mengangguk. Hal itu dibalas oleh Emira dengan serupa.

Mereka berpelukan layaknya kakak adik sungguhan. Al tersenyum melihat itu.

"Semoga Allah memberkahi kita semua."


***

Tbc



18323

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang