-
"Ruang keluarga."
Emira masih setia tersenyum, tidak menyadari raut perubahan teman-temannya.
"Ayo, biar gue bawa air sama camilannya." ajak Emira. Ia sudah bangkit dari duduknya.
"Sini, gue bantu." Jessie ikut membantu membawa barang-barang, sedangkan Thea hanya mengikuti dua temannya itu dari belakang.
Mereka sampai di ruang keluarga yang disebutkan oleh Emira tadi, suasananya memang terasa hangat, berbeda dengan ruang tamu yang tampak formal itu.
Setelah menyimpan barang bawaannya, Emira meraih remot TV lalu menyalakannya untuk menciptakan kebisingan.
Tiga perempuan dengan kepribadian berbeda-beda itu duduk bersisian menghadap layar televisi. Mereka menonton film kartun, sesekali diselingi oleh pembicaraan ringan serta guyonan Jessie, membuat keadaan tidak canggung sama sekali.
Saat siaran sedang menayangkan iklan, sontak ketiganya langsung menegakkan punggung masing-masing kembali mencari posisi ternyaman.
"Guys," intrupsi Emira, membuat dua temannya menoleh langsung ke arahnya.
"Gue mau bahas topik utama kita," jeda Emira, ia membahasi bibirnya terlebih dahulu, lalu kembali berucap. "Tujuan gue ngajak main kalian itu, gue mau jujur soal apa yang gue alami selama empat bulan ke belakang."
Suasana mendadak serius, Thea dan Jessie pun membuka telinga untuk mendengar apapun yang keluar dari mulut temannya.
Emira menatap bergantian Jessie dan Thea yang berada di kedua sisinya. Thea di sebelah kanan, lalu Jessie di sebelah kirinya.
Emira menarik napasnya, "tapi sebelum itu kalian berdua jangan jauhin gue ya?" pintanya. "Kalo kalian mau marah, nggak apa-apa, karena menurut gue itu wajar." terangnya.
"So... ?" tanya Jessie meminta kelanjutan.
Emira meneguk ludahnya susah payah, terpancar sorot khawatir di kedua matanya. Jessie dan Thea bisa melihat itu.
"Maaf, sebelumnya gue ngga pernah bilang ke kalian, atau gak mau terbuka sama kalian." Emira menundukkan kepalanya seraya memainkan jarinya di atas paha.
"Sebenarnya, gue udah nikah. Kurang lebih sekitar empat bulan yang lalu." lirihnya seraya memejamkan mata.
Hening selama beberapa detik, Emira membuka matanya, lantas mendongak untuk menengok ke kanan ke kiri melihat reaksi sahabatnya yang malah tampak biasa saja.
Jessie menarik bibirnya, "wahhhh... selamat ya!" ucapnya seraya menyengir, ia menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan Emira.
Emira dibuat melongo, ia kemudian menoleh ke arah Thea setelah dengan ragu-ragu membalas jabatan tangan Jessie. Thea pun hanya memberikan senyum simpul kepadanya seraya berkata.
"Congrast, ya... Semoga Samawa." ucapnya.
Tunggu! Tunggu! Emira tidak salah kah? Ia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk mencerna semuanya.
"Kok, kalian nggak marah sih?" tanyanya heran.
Jessie yang sedang mengunyah camilan mendengus, "elo mau kita berdua marah?"
Emira menggeleng cepat, "ya enggak lah!"
"Lagian mau marah juga udah telat," Thea beralasan, ia menatap wajah teduh sahabatnya yang masih terlihat kebingungannya. "Jessie udah marah-marah pas lo akad."
"Hah?!" beo Emira, semakin bingung.
Jessie berdecak pelan, lalu menaruh kakinya di atas meja, sebut saja tidak sopan. Ia menjilat sisa remahan keripik di jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKHAIRA [End]
Spiritual[BELUM REVISI] Gagal masuk ke perguruan tinggi impiannya, Emira melampiaskan segala emosinya dengan pergi ke sebuah club bersama teman-temannya. Saat perjalanan pulang dari Kantor, sang papa memergoki Emira yang keluar dari club dengan langkah semp...