Emira menatap kosong cermin di hadapannya sambil menyisir rambutnya yang basah setelah mandi besar. Hari ini genap satu minggu usia pernikahannya.
Namun tidak ada perubahan apapun yang sesuai keinginan Emira. Otaknya sedang berputar memikirkan cara apapun yang menguntungkan dirinya.
Emira dinyatakan gagal mengambil fokus suaminya agar lalai pada kewajiban mengerjakan tugas kantornya. Malah yang selama ini ia amati, suaminya itu tetap santai-santai saja, padahal sudah seminggu tidak terlihat sedang bekerja.
Apa Papanya sebaik itu hingga mengizinkan menantunya cuti selama ini?
Emira tidak tahu saja bagaimana usaha Al menahan rasa kantuknya ketika begadang karena harus menuruti tingkah manjanya yang memang disengaja. Padahal sebelum Emira sadar dengan keberadaan Al, suaminya itu tengah mengerjakan beberapa kerjaan kantornya secara maksimal agar segera tuntas.
Bahkan Emira tidak tahu, ketika Al sangat lelah namun masih mau melakukan apapun yang Emira inginkan.
Emira menarik rambutnya untuk mengencangkan ikat rambutnya. Ia bingkas, dan menatap tajam pada dirinya yang ada di cermin.
"Oke, drama end!" tukasnya.
Emira beranjak menuju kasur dan segera merebahkan tubuhnya serta menutupinya dengan selimut.
***
Al melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya yang mancung. Kemudian merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Ia melirik jam yang menempel di dinding, segera ia bangkit keluar dari ruangan kerjanya.
Langkahnya membawa ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi dan teh manis untuk istrinya. Karena, inilah kebiasaan keduanya beberapa hari ke belakang ini ketika waktu malam.
Al membawa nampan di tangannya menuju kamarnya, menaiki anak tangga dengan hati-hati.
Ia menahan nampan tersebut dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lainnya ia gunakan untuk membuka kenop pintu hingga memperlihatkan sebuah gundukan selimut di ujung sana.
"Sayang..." panggilnya. Lantas menaruh nampan di atas nakas.
Al menundukkan punggungnya untuk melihat istrinya. Ia menyibak selimut tersebut, namun segera ditarik kembali oleh Emira. Al menarik sekali lagi lantas berucap.
"Minum teh dulu, sayang." ucapnya lembut.
Namun melihat respon istrinya yang berbeda membuat kening Al mengerut.
"Kenapa sayang?" Al menyentuh kepala istrinya hendak mengusap, namun Emira langsung menghindar.
Al semakin dibuat bingung, "Kamu sakit? Hm?"
Tidak menyerah, Al mendudukkan tubuhnya di sisian kasur. Ia mengusap tubuh yang ditutup selimut itu.
"Kamu kenapa? Aku ada salah?"
Tangannya terulur hendak menyentuh wajah istrinya yang sedikit menyembul dari selimut. Namun belum mendarat sempurna, tangannya sudah di tepis oleh Emira, padahal matanya sedang terpejam.
Tahu suasana hati istrinya sedang buruk, Al memutuskan untuk undur diri terlebih dahulu. Ia mengambil cangkir kopinya lalu duduk di sofa yang menghadap ke arah kasur.
Netranya terus menatap pada objek yang ditatapnya. Pikirannya melalang buana, memikirkan kesalahan apa yang diperbuatnya.
Padahal Al sudah dibuat senang saat mengetahui kabar bahwa istrinya sudah kembali suci dari hadst besar. Maksud Al, ia ingin melaksanakan sholat berjamaah dengan istrinya. Namun, Al lebih menginginkan sholat berjamaah di masjid, tapi dirinya masih belum bisa menyempatkan.
Tak terasa waktu sudah menjelang pagi, Al mengusap wajahnya yang kusut. Lalu melihat jam dinding, yang menunjukkan pukul satu.
Al memilih untuk tidur sebentar, karena kepalanya terasa berat. Ia merebahkan tubuhnya di sebelah Emira, kemudian mendekatkan tubuhnya lantas merentangkan tangannya untuk memeluk istrinya seperti biasa.
Namun, lagi-lagi respon Emira mengejutkan Al. Ia mencoba melakukan hal yang sama, dan hasilnya pun tetap sama, Emira menepis lengannya seraya bergeser menjauh.
Ia kira Istrinya sudah lelap, ternyata terbangun atau memang belum tidur. Al pun menarik dirinya, ia meluruskan tubuhnya, menatap ke langit-langit kamar.
"Saya ada salah apa, Ira?" cicitnya lemah, setelahnya berusaha memejamkan matanya untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Mendengar dengkuran halus suaminya, Emira menggerakkan kepalanya untuk menoleh ke belakang. Ia menghela napas panjang, kemudian menyibak selimutnya.
Tumbuhnya terlentang menatap kosong langit-langit kamar, lubuk hatinya merasa tak terima ia memperlakukan suaminya seperti itu, padahal sebelum-sebelumnya hubungan mereka terlihat harmonis. Walaupun memang Al yang lebih dominan memberi perhatian, begitupun dengan Emira yang terlihat nyaman atas perlakuan-perlakuan manis suaminya.
Emira menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ia harus tetap pada tujuan utamanya. Emira benar-benar menutup matanya untuk tidur, agar otaknya tidak berubah pikiran.
"Sayang... Bangun..."
Emira menggeliat kecil, sambil melenguh. Ia menggosok matanya yang terasa rapat, lalu menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.
"Sholat malam bareng, ayo." ajak Al.
Emira menatap suaminya yang sedang menatapnya dari atas, buru-buru ia mengalihkan wajahnya menatap jam yang menunjuk antara angka tiga dan empat. Dirinya baru tertidur sekitar dua jam-an sudah dibangunkan?
Emira berdecak kesal, "ngantuk, jangan ganggu." ujarnya sambil membelakangi Al.
"Ya sudah, nanti subuh saya bangunkan lagi, ya?"
"Berisik!" desis Emira. Membuat Al terpaku, ia merasa ada yang mencubit dadanya.
Al turun dari ranjang, ia melangkah menuju kamar mandi dengan lunglai.
"Apa lagi ini Ya Allah?"
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKHAIRA [End]
Spiritual[BELUM REVISI] Gagal masuk ke perguruan tinggi impiannya, Emira melampiaskan segala emosinya dengan pergi ke sebuah club bersama teman-temannya. Saat perjalanan pulang dari Kantor, sang papa memergoki Emira yang keluar dari club dengan langkah semp...