"Ternyata permintaan gue sebelum nikah gak berguna, ya." gumam Emira seraya memoles wajahnya dengan brush.
"Mulai saat ini, gue pengen merealisasikan keinginan gue." Kali ini ia menambahkan pewarna bibir yang sedikit terang. "Have fun, Emira!" monolognya seraya mengibaskan rambut panjangnya.
Emira meraih ponselnya untuk mengabari sang teman. Ia akan menunggu di tempat kemarin, awalnya hal itu membuat temannya curiga. Sebab, seorang Emira anak pengusaha mau berjalan berbaur dengan panas matahari bercampur polusi udara.
Namun, Emira beralasan karena takut diketahui Papanya, makanya ia pergi secara sembunyi-sembunyi.
Emira mencetak senyumnya, ia pun bergegas keluar rumah setelahnya mengunci pintu utama.
Suaminya sudah pergi bekerja beberapa jam yang lalu.
Emira akan pulang ketika malam hari dan selalu bertepatan dengan kepulangan suaminya. Terus berulang selama satu minggu ini.
Namun, Emira tidak tahu saja, bahwa hati Al selalu merasa resah.
Seperti sekarang ini, Al mengamati istrinya yang tengah bersandar di dada bidangnya. Mereka sedang melakukan rutinitas mereka setelah isya. Yaitu menonton televisi, walaupun Al tidak sepenuhnya menonton.
"Kalo siang, kamu di rumah aja?" tanya Al menatap wajah istrinya yang tengah fokus menonton layar tersebut.
Emira mengangguk hingga terantuk dengan dada suaminya, Al mengusap kepala istrinya lembut.
"Iya, saya bosen tau." jawab Emira. Tetap menjawab dengan tenang.
Al bergeming, tangannya masih betah mengusap kepala istrinya.
"Kamu beneran merias diri untuk saya?"
Emira mendongak, menatap wajah suaminya yang tengah menatapnya juga.
"Ya, terus, buat siapa lagi?"
Al tersenyum, walaupun istrinya tidak menjawab dengan pasti, tapi dirinya menyatakan bahwa itu untuk dirinya, tidak untuk siapapun.
Namun, perasaan Al tidak dapat dibohongi, ia tetap saja merasa resah.
Al merengkuh tubuh istrinya, lalu mengecup pucuk kepalanya.
"Nanti kalo mau keluar, izin dulu sama saya, ya." ucap Al. "Saya akan izinin kamu, asalkan kamu tetap mentaati syariat." sambungnya.
"Ya, kali, yang ada kalo gue bilang, bisa-bisa dilaporin ke Papa." batin Emira, ia lebih takut kepada Papanya ketimbang suaminya yang nyatanya sekarang lebih berhak dari Papanya.
Emira diam saja, ia menerima setiap perlakuan suaminya tanpa merespon. Bisa dibilang, ia tidak akan membalas walaupun suaminya berusaha semaksimal mungkin, Emira hanya bertugas sebatas tidak menolak saja. Itu dirasa sudah cukup.
Lagi, Emira tidak tahu, bahwa hati kecil Al selalu menginginkan layanan terbaik dari istrinya, tidak harus melayani kebutuhan biologisnya, minimal berikan Al perhatian-perhatian kecil layaknya istri kepada sang suami.
Namun, selama satu bulan ia menjalani kehidupan rumah tangga, Al tidak pernah mendapatkan itu. Hanya ada usaha satu arah saja, tidak ada timbal balik.
Al mengunci pintu utama untuk pergi sholat subuh berjamaah di masjid. Kakinya melangkah menyusuri jalanan komplek yang terlihat sepi. Hembusan angin pagi menerpa wajahnya yang sedikit basah sehabis wudhu.
Al telah sampai di masjid, ia langsung melaksanakan sholat sunah terlebih dahulu. Selanjutnya, ia melaksanakan sholat subuh berjamaah bersama para Ikhwan.
Al berdoa, meminta kepada Allah agar mendapat keberkahan dalam rumah tangganya, serta dilindungi dari segala bentuk masalah apapun.
Waktu Fajar telah tiba, Al pamit dari masjid dan kembali ke rumahnya untuk bersiap-siap pergi bekerja.
Al mengucap salam sebelum memasuki rumahnya. Ia berjalan ke kamar khusus tempat sholat untuk menaruh peci serta sajadah.
Kemudian, Al pergi ke kamarnya untuk melihat sang istri. Bibirnya tertarik ke atas, saat mengetahui istrinya sudah bangun.
"Udah sholat?" tanya Al menghampiri istrinya, sesampainya di hadapan sang istri, seperti biasa Al akan melakukan kebiasaan paginya yaitu mengecup singkat bibir tipis sang istri.
Emira mengangguk, "udah."
Al duduk di sebelah Emira yang tengah bersandar di ranjang. Kemudian menaruh kepalanya di paha Emira, tangan besarnya membawa telapak tangan kecil Emira untuk di simpan di atas wajahnya. Kemudian, ia kecup sebentar sebelum berucap.
"Usap."
Emira pun menuruti kemauan suaminya, ia mengamati wajah Al yang terpejam.
"Saya mau masakan buatan kamu," ujar Al, matanya masih terpejam.
Kening Emira mengerut, "ngidam?" tanyanya dalam hati. Kemudian menggeleng cepat, "berhubungan intim juga belum." jawabnya membatin.
"Saya gak bisa masak," ungkap Emira jujur. Ia benar-benar tidak berpengalaman di dapur.
"Saya tahu," balasan Al mampu membuat kening Emira kian mengerut. "Udah tau kenapa masih nyuruh?" batinnya. Ia menelisik wajah tampan Al yang ternyata masih terpejam.
Tangannya terhenti saat Al hendak bingkas dari tidurnya. Al menatap wajah cantik istrinya yang polos, kemudian mengecup pipinya yang sedikit berisi.
"Saya mau nyiapin sarapan dulu, ya." izinnya, kemudian bangkit lalu berjalan keluar pintu kamar.
Emira mematung, ia merasa ada yang berubah dengan sikap Al. Entah, padahal perilakunya tetap sama seperti biasanya yang memberikan perhatian penuh kepadanya. Al, terlihat sedikit lesu hari ini. Emira mengendikkan bahunya, mungkin sedang ada masalah pekerjaan, pikirnya.
Emira turun dari kasur berniat menyusul Al ke dapur. Seperti biasa, ia akan menonton aksi Al yang terlihat keren saat bertempur dengan alat masak, di meja makan yang memang tersedia di sana.
Dan lagi, Emira dibuat aneh, biasanya Al akan menghampirinya dan menghadiahinya kecupan singkat di bibirnya yang menjadi favorit bagi Al. Tapi sekarang, Al hanya menoleh lalu tersenyum sekilas ke arahnya tanpa mau repot-repot menghampiri.
Emira termenung, bertanya-tanya dalam hati. Tanpa menyadari sedikitpun bahwa ini semua berawal dari dirinya, ia juga benar-benar tidak menyadari kesalahannya selama ini yang ia perbuat.
"Dia kenapa ya?" batin Emira.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKHAIRA [End]
Spiritual[BELUM REVISI] Gagal masuk ke perguruan tinggi impiannya, Emira melampiaskan segala emosinya dengan pergi ke sebuah club bersama teman-temannya. Saat perjalanan pulang dari Kantor, sang papa memergoki Emira yang keluar dari club dengan langkah semp...