Di ruangan berwarna pastel ini, terdapat seorang gadis yang tengah meringkuk di lantai yang dingin akibat terkena pendingin ruangan.
Kondisinya terlihat kacau, matanya yang memerah serta bengkak, lalu pakaiannya yang lembab karena masih memakai pakaian semalam. Hal itu dapat mempengaruhi keadaan tubuhnya, apalagi ia belum mengisi perutnya sama sekali. Akibatnya, tubuhnya saat ini terasa lemas serta demam cukup tinggi.
Emira merintih kesakitan di lantai, bibirnya bergetar, berusaha meminta pertolongan pada siapapun dengan suara lirih. Ini adalah balasan baginya, yang semalam melarang siapapun untuk menginjak kamarnya.
Sepertinya Allah sedang berbaik hati mendatangkan pertolongan. Suara ketukan serta seruan khas seorang Ibu masuk ke gendang telinga Emira.
"Nak, sekarang Mama boleh masuk?" izin Mamanya, dari balik pintu.
Emira meneteskan air matanya, merasa berdosa dan sakit secara bersama.
"Boleh, Ma." lirihnya, namun masih bisa terdengar ke luar kamar walaupun samar.
Sang Mama kembali mengetuk pintu untuk memastikan. "Buka pintunya dong, nak."
Setelah berkali-kali diketuk, tidak ada sahutan dari dalam sama sekali. Hal itu membuat wanita berhijab itu merasa panik. Biasanya, Emira akan tetap merespon walaupun tidak mengizinkan masuk.
Salamah segera meminta bantuan pada para pekerja di Rumahnya untuk segera mengambilkan kunci cadangan kamar Emira.
Beberapa menit kemudian, salah satu orang yang bekerja di Rumahnya membawa kunci tersebut dan segera membukanya.
Salamah dengan segera berlari memasuki kamar anaknya yang luas itu. Ia langsung memangku tubuh anaknya yang menggigil.
"Bi, tolong panggilkan, Tuan!" perintah Salamah langsung dilaksanakan oleh asistennya.
"Baik, nyonya." Wanita setengah baya yang berseragam sama dengan pekerja lain itu segera memanggil sang Kepala Keluarga. Peraturan bekerja di rumah besar ini, diwajibkan memakai pakaian menutup aurat, khususnya untuk wanita.
Hanya satu orang saja penghuni rumah ini yang tidak menutup aurat.
"Ayo, kita ke rumah sakit, Nak. Ibu ambil baju ganti kamu dulu."
Emira dengan tubuh lemasnya berusaha menahan tangan sang Ibu. Ia menggeleng pelan.
"Mira cuma kedinginan sama belum makan aja, Ma." cicitnya.
Salamah menghela napasnya, menuruti kemauan sang anak yang keras kepala seperti suaminya.
"Ya udah, Ganti baju dulu, habis itu makan, terus minum obat." ujar Salamah, "jangan lupa, malam ini kita juga akan kedatangan tamu, sayang. Kamu harus sehat." ucapnya lembut, seraya membuka pakaian Emira yang semalam, menggantinya dengan baju gamis berwarna cokelat. Sangat cocok dengan kulit Emira yang putih.
Pintu kembali terbuka, datang sosok yang paling disegani di Rumah ini. Emira mengalihkan pandangannya, saat sang Ayah mendekat sembari membawa nampan yang terdapat makanan serta obat.
Bimantara menaruh nampan tersebut di nakas, lalu ia menyuruh istrinya untuk bergeser sedikit dan ikut duduk di pinggiran ranjang.
Ia mengusap rambut anaknya yang basah, lalu menatap wajah anaknya yang masih memalingkan muka.
Bimantara tersenyum tipis, "anak kesayangan Papa sudah besar," gumamnya. Ia menarik tangannya, lantas meraih mangkuk yang berisi sup ayam kesukaan anaknya.
"Buka mulutnya, Papa masakin makanan kesukaan kamu." ucapnya.
Emira menggaruk hidungnya yang memerah, ia berusaha menahan egonya agar tidak tergiur dengan sogokan Papanya.
Bimantara menoleh pada istrinya, "masa dia yang buat salah, dia yang marah?" sindirnya.
"Papa aku denger, ya!" sahut Emira. Hal itu membuat kedua orang tuanya terkekeh kecil.
Bimantara menyerahkan mangkuk itu ke istrinya, setelahnya ia mengangkat tubuh anaknya dan menyandarkannya pada sandaran ranjang. Ia pun ikut bersandar di sebelah anaknya. Tangannya bahkan memeluk bahu sang anak sambil mengelus dengan penuh kasih sayang.
"Papa sama Mama, sayang banget sama kamu, nak." Bukan memulai pembicaraan, sedangkan Salamah mulai menyuapi Emira yang mau membuka mulut.
"Kami berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik kamu menjadi lebih baik, menjadi anak yang sholehah." jelasnya.
"Saat melihat kamu yang jauh dari syari'at, itu membuat kami sebagai orang tua merasa gagal mendidik kamu, nak." jedanya, Bimantara menatap sayang wajah anaknya yang tengah mengunyah sambil menatap lurus, netranya tampak berkaca-kaca.
"Papa harap, kamu mengerti, nak."
Emira tak kuasa menahan tangisnya, ia memeluk sang Ayah dan menangis kencang di dekapannya.
"Maafin aku, Pa, Ma..." lirihnya tersendat-sendat.
Bimantara mengusap kepala anaknya, "bertaubatlah, nak."
Salamah yang melihat itu menitikkan air matanya. Ia ikut tersentuh, berbagai macam perasaan bercampur menjadi satu.
"Yuk, sholat maghrib dulu." ajak Salamah. Membuat Ayah dan Anak itu melepaskan pelukannya.
Bimantara mengusap wajah anaknya yang basah, "jelek banget anak Papa." Hal itu membuat Emira cemberut.
"Makannya habisin dulu, terus kita sholat berjamaah. Selesai sholat, kita bantuin Bibi nyiapin hidangan buat tamu." tutur Salamah.
Mengingat itu kembali, membuat Emira menghela napasnya.
Selesai Emira mengisi perutnya, Mereka melaksanakan sholat maghrib berjamaah bersama para pembantu rumahnya di mushola yang memang disediakan di kediaman Bimantara.
Setelah beres melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, mereka disibukkan dengan segala persiapan untuk acara malam ini. Emira dan Salamah hanya membantu sedikit, karena semuanya dikerjakan dengan baik oleh pembantunya. Tidak ada kemewahan, mereka hanya memasak makanan untuk menjamu tamu, tidak ada dekorasi apapun seperti lamaran pada umumnya. Mereka tetap mengusung kesederhanaan.
Setelah semuanya beres, seluruh penghuni rumah tersebut melaksanakan sholat isya berjamaah dan doa bersama untuk kelancaran acara ini hingga hari-H yang dipimpin oleh Bimantara.
Sekarang Emira tengah berada di kamarnya bersama sang Ibu setelah membersihkan diri dan sembahyang. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat fresh karena dipolesi make-up tipis, tatapannya datar tidak bersemangat.
Salamah memasangkan kerudung ke Emira, hingga menutup kepalanya dengan rapi. Bahkan bagian depannya menjulur hingga menutup dada.
"Masyaallah! Cantik sekali, putri Mama." puji Salamah. Sedangkan yang dipuji, ia hanya membalas dengan senyuman tipis.
Salamah mengusap kepala anaknya yang tertutup kain.
"Ini jalan yang terbaik dari Allah untuk kamu, sayang."
***
Tbc
16323
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKHAIRA [End]
Spiritual[BELUM REVISI] Gagal masuk ke perguruan tinggi impiannya, Emira melampiaskan segala emosinya dengan pergi ke sebuah club bersama teman-temannya. Saat perjalanan pulang dari Kantor, sang papa memergoki Emira yang keluar dari club dengan langkah semp...