1

12.8K 665 0
                                    

Di ruangan besar dominan putih ini, hanya diisi oleh suara Isak tangis perempuan. Tubuh mungilnya yang basah kuyup ditutupi dengan handuk. Gadis itu menangis tersedu-sedu setelah dimarahi habis-habisan oleh Papanya.

Bahkan Papanya tega menyiram dirinya dengan selang yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman di halaman depan hingga dirinya kedinginan dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

Untung ada sang Mama yang menghentikan aksi tersebut dan memberikannya sebuah handuk, sedikit menghangatkan tubuhnya yang mengigil.

Namun mau bagaimanapun, sang Mama tidak bisa menolong dirinya dari amukan sang Kepala Keluarga. Mama hanya bisa berusaha menenangkan Papa.

Hening sangat lama. Orang yang berada di ruang tengah itu berusaha mendinginkan kepalanya masing-masing.

Al yang sedari tadi duduk di sofa paling ujung, menunduk sangat dalam. Ia benar-benar tidak enak berada di situasi seperti ini. Mau tidak mau, telinganya mencerna semua apapun yang dikatakan orang-orang di sini. Al benar-benar mati kutu.

Al memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, dan menyapu sepenjuru rumah dengan cepat.

Gerakannya terhenti, dan menatap anak Pimpinan yang terlihat kacau itu. Giginya bergemelatuk karena kedinginan, rambutnya basah dan acak-acakan, serta matanya yang memerah karena menangis.

Seketika Al mengucap, "astaghfirullah." dalam hati, karena telah berani menatap yang bukan mahram.

Kepalanya kembali menunduk dan memejam. Suara bariton milik Pimpinan menginterupsi keheningan, dan kembali membuat jantung Al berpacu cepat.

"Al, saya benar-benar memohon kepada kamu, agar kamu mau menikah dengan putri saya."

Semua orang yang berada di ruangan itu membeku. Termasuk Al yang kian membatu.

"PAPA YAKIN MAU JODOHIN AKU SAMA OM INI?!" Emira berteriak dengan suara parau sambil menunjuk Al, hingga semua mata tertuju ke arahnya. Bahkan Emira sampai berdiri hingga handuk yang menutup tubuhnya itu turun dan menampakkan pakaiannya yang mencetak jelas. Buru-buru Al segera mengalihkan pandangannya.

"Diam kamu!"

"Ma, Tolong aku..." lirih Emira menatap sang Mama dengan berderai air mata. Hal itu membuat siapapun yang melihatnya akan merasa iba.

"Mas," Mama berusaha melunakkan hati Papa. "Mas Bima. Mas, kan tau anak kita baru genap delapan belas tahun. Mira masih terlalu muda untuk menikah, sayang."

Bimantara memijit kepalanya yang terasa pening,  "Papa sebenarnya sudah memikirkan ini sejak Mira sudah duduk di bangku SMA, Ma. Papa benar-benar takut, putri Papa satu-satunya masuk ke lubang hitam." jelas sang Papa dengan lirih. Mampu membungkam semuanya.

"Papa sedari dulu selalu sabar menasehati Mira, Papa berharap Mira menjadi anak yang Sholihah. Tapi apa kenyataannya? Papa merasa gagal." Bimantara mengusap wajahnya yang memerah, ia terlalu emosional hingga air matanya tak dapat dibendung lagi.

Emira menangis lebih kencang, kala mendengar ucapan Papanya. Ia merasa sangat berdosa.

Al memejamkan matanya, beristighfar dalam hati, berusaha menenangkan dan menjernihkan pikirannya.

Setelah semuanya tenang, Bimantara kembali membuka suara. Membuat semua orang yang berada di ruangan ini merasa gugup luar biasa.

"Al, saya sungguh-sungguh memohon kepada kamu. Alkhalif Zikri Hady, siapkah kamu menikahi putri saya, Emira Tabina Salama?"

Semua orang menunggu jawaban Al dengan perasaan cemas, begitupun dengan Emira yang mengharapkan penolakan dari laki-laki itu.

Al menghela napasnya beberapakali sambil terus berdoa dalam hati untuk meyakinkan dirinya. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan perjodohan ini adalah baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku, maka tentukanlah untukku, mudahkanlah jalannya dan berkahilah aku di dalamnya.

Al menatap satu persatu orang yang ada di sana. Kemudian ia menipiskan bibirnya dan mengucap basmalah.
"Insyaallah, saya bersedia."

Bagaikan petir di siang bolong. Hal itu mampu membuat Emira menangis histeris, berbeda dengan Papanya yang mengucap syukur. Emira justru meraung dan pergi ke kamarnya dengan langkah cepat. Sang Mama yang merasa khawatir langsung mengikuti putrinya itu sembari terus mengingatkan.

"Mira! Istighfar, sayang! Jangan macam-macam kamu di dalam." ingatnya sambil terus mengetuk pintu kamar Mira yang dikunci.

Bimantara bangkit, menghampiri Al yang tengah tertunduk. Kemudian ia menepuk bahu Al beberapa kali, berusaha meyakinkan.

"Keputusan kamu sudah tepat, Al. Saya sudah mempercayaimu." ujar Bimantara yakin, kini senyum tipisnya kembali terukir.

Hal itu mampu membuat Al ikut tersenyum, "Insyaallah, saya akan menjaga, menyayangi dan mendidik putri Bapak."

Bimantara duduk di dekat Al untuk berbicara lebih banyak.

"Kapan kamu akan mengkhitbah Mira?" tanyanya memastikan.

Al bergumam sejenak, "besok malam," jawabnya yakin. Bimantara sontak mengerjapkan matanya, merasa terpukau, gerak cepat sekali, pikirnya. "Kamu yakin?" tanyanya lagi.

"Insyaallah. Besok, setelah isya, saya akan membawa orang tua saya ke sini. Pulang dari sini, saya akan membicarakan ini kepada orang tua saya." jelasnya benar-benar meyakinkan Bimantara sebagai Wali.

Bimantara mengangguk puas, ia menepuk pundak Al beberapa kali lantas bangkit berdiri.

"Kamu boleh pulang sekarang, nanti saya minta tolong anterin sopir."

Al menggeleng, menolak dengan halus. "Tidak perlu, Pak. Saya naik taksi saja. Sekalian mau beli titipan adik saya, barusan dia chat."

"Oh, baiklah. Kalo begitu, mari saya antar ke depan." Kali ini Al tidak menolak tawaran Bimantara yang bersedia mengantarnya.

Taksi online yang dipesan Al ternyata baru sampai, bertepatan dengan dirinya yang berdiri di depan gerbang besar itu.

"Saya pamit pulang, Pak. Assalamualaikum!"

Bimantara tersenyum, dan mengangguk singkat. "Wa'alaikumussalam,"

Ia menatap mobil yang kian menjauh dari lingkungan Rumahnya. Senyumnya senantiasa terpatri di bibirnya.

"Saya yakin, kamu akan menjadi suami yang baik bagi anak saya."

***

Tbc

ALKHAIRA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang