Sunyi dalam mobil,Gulf duduk di kursi belakang ,bersadar pada sandaran mobil, tangannya dengan erat memeluk pasu kecil milih sang ayah,namum pandangan tetap tertuju ke arah luar. Cuaca dibilang cerah,tapi dalam pandangan nya tidak jauh dari sekedar kabut.
Menyusuri jejeran lemari kaca,yang penuh terisi jiwa yang telah pergi, langkah terhenti di depan sebuah foto yang menampakkan wajah sang ibu yang telah lebih dulu pergi menemui tuhan.
"Ibu Gulf datang". Sorot mata teramat sendu saat menyapa ibu dengan kehadirannya
"kali ini Gulf tidak datang sendiri,Gulf datang untuk mengantar ayah ke samping ibu,ibu tidak akan merasa kesepian lagi karna ayah ada dengan ibu disini".
Sedikit senyum dibalik bayang luka,Gulf dengan perlahan menempatkan guci berisi abu kremasi sang ayah di salah satu tempat yang belum terisi yang tentu saja berdampingan dengan milik sang ibu.
"Gulf,kau sudah melakukan tugasmu sebagai seorang anak, sekarang jangan merasa kau sendirian,kau punya banyak orang yang menyayangi mu"
"aku merasa bersalah pada ayah,aku tidak melakukan kewajiban ku sebagai seorang anak saat ayah ada. Saat dia bilang jika kehadiran ku adalah kesalahan,aku rasa itu benar, hidupnya mungkin tidak akan seperti ini jika bukan karena aku. Maaf karena hadir menjadi anakmu". Kembali dilihatnya foto sang ayah yang bersender dipinggir guci abu kremasi yang telah ia letakan.
"Laut tidak meminta maaf atas kedalaman nya, Gunung tidak merasa bersalah atas kebesarannya. Demikian pula dengan kau, keberadaanmu bukankah kesalahan ,kau berharga apa adanya,ayahmu tau itu".
Prim beranjak dari posisi belakang menuju depan tepat dipinggir Gulf berdiri. "Paman Mario benar,kau berharga tanpa tapi dan pengecualian".
"kita pulang sekarang?",Gulf mengangguk mengiyakan Mario
Langkahnya berat,begitu cepat ia mengantar sang ayah untuk berdekatan dengan ibunya, seperti enggan untuk pergi dan lebih memilih terus tinggal dengan mereka,namun kehidupan harus tetap berlanjut walau kini dirasa sepi.
Bukan ini yang Gulf ingin,ia memang ingin ayah dan ibunya kembali berdekatan tapi untuk berbagi kehangatan dan mengisi kekosongan sebuah hunian agar dia bisa merasakan apa yang dimaksud keluarga utuh dan bahagia,tapi kini ayah dan ibunya tidak mengikutsertakan nya untuk hadir diantara mereka yang kini telah bernaung berdampingan di bawah bangunan yang menjadi lambang perbedaan dimensi.
.
.
.
."Gulf sejak kemarin pulang dari columbarium kau tidak makan apapun,kau tidak kasihan dengan perutmu?"
"tidak"
Mario menghampiri Gulf yang sejak tadi duduk termenung menatap gundukan bunga yang tumbuh di taman belakang rumah.
Mendudukkan diri di samping Gulf,dengan harapan bisa berbagi perasaan jika ia berkenan membagi nya.
"kau sepertinya menyukai taman rumah mu, hingga dari tadi tidak mau beranjak"
"Tentu,dulu ibu yang minta pada ayah untuk dibuatkan taman di belakang rumah"
"Boleh aku bertanya?"
"kenapa meminta izin"
"Baiklah,tidak perlu izin darimu sepertinya"
"apa yang akan ditanyakan?"
"mulai dari kecil kau sudah bersahabat dengan yang namanya cobaan,aku tau betul dengan detail apa saja yang menerka kehidupan mu,tapi aku tidak tau tentang penderitaan yang kau rasa. Jika dijabarkan kurasa tidak cukup hanya dengan waktu seharian,sejauh ini aku lihat kau pandai mengalahkan terjangan yang menyikut mu. Dari semua yang pernah kau alami apa pernah kau berpikiran untuk menyerah atau mengakhiri hidupmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
selenophile [End]
Teen Fiction🌻: Aku Gulf bukan Gap 🌞 : Aku juga Mew bukan Miu Apa harus menyalahkan Tuhan jika adil tak turut aku rasakan,kenapa Tuhan melimpahkan kebencian padaku setidaknya aku membutuhkan nuraga kiranya hidupku sukar dilalui nyatanya lara ku lewati sendiri.