Prolog

559 24 3
                                    

Ruangan dengan kesan mewah dari ujung ke ujung itu masih membuat seluruh mata akan terkagum sendiri. Warna merah dan emas yang dominan memenuhi lantai serta tembok menambah kesan mahal tersendiri bagi ruangan luas tersebut. Tepat di tengah-tengah, meja oval diletakkan berdampingan dengan beberapa kursi yang sudah diisi oleh orang-orang dengan pakaian formal dan sopan.

Kecuali untuk seorang gadis remaja yang justru hanya mengenakan dress pendek berwarna kuning luntur bertema summer.

”Jadi....” Suara serak itu terdengar mendominasi, membuat seluruh mata yang semula menatap aneh pada satu gadis muda di salah satu kursi menoleh. ”Nama?”

Chaerra, gadis yang sejak tadi merunduk tak berani mendongak sedikit pun hanya mampu mengumpat dalam hati. Sedikit menaikkan bola matanya melirik, memandang laki-laki setengah baya seumuran ayahnya yang terlihat melemparkan pandangan sinis juga penolakan tepat ke arahnya. Gadis itu kembali menunduk cepat, meneguk ludah kasar dengan jari-jemari meremas bagian bawah dress yang ia kenakan.

”Chaerra,” jawab suara di sisi Chaerra tak kalah dingin, ”Chaerra Karinda.”

”Ayah gak tanya sama kamu, Ayah tanya sama pacar kamu,” balas suara angkuh di depan sana makin menjadi, ”atau pacar kamu bisu sampai gak bisa jawab pertanyaan orang lain?”

”Chaerra Karinda, Om,” sahut Chaerra sedikit mengangkat dagunya ragu, ”biasa dipanggil Chaerra,” lanjut gadis itu berubah mencicit.

Suara helaan nafas pemuda di sisi Chaerra terdengar memberat, dengan tangan pemuda itu yang bergerak menggapai tangan Chaerra supaya berhenti membuat lusuh dressnya sendiri. ”Jangan takut, gak ada yang bakal nembak kepala lo kalau lo ngomong,” bisik Jeiden mencoba menenangkan yang berakhir dengan umpatan pelan Chaerra.

Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, hampir tengah malam. Tapi keluarga besar Adnan yang terdiri atas satu wanita paruh baya, satu laki-laki dewasa setengah baya, satu wanita cantik dengan tampilan elegant yang sejak tadi juga melemparkan pandang pada Chaerra seolah tertarik, serta tidak lupa anak tunggal keluarga ini yang menjadi tersangka utama kenapa Chaerra bisa berada di sini. Setelah dibuat kebingungan dan kikuk di acara ulang tahun yang rata-rata didatangi politikus, pengusaha, dan kalangan atas lain karena menjadi orang dengan pakaian paling cerah, Chaerra masih harus dibuat duduk melingkar di antara keluarga dengan kesan dingin dan angkuh ini.

”Nama keluarga?” tanya laki-laki dewasa tadi kembali menambahkan.

Chaerra jadi mengangkat wajah sepenuhnya dengan wajah sedikit berkerut. ”Gak ada, Om,” ujarnya tergagu, masih belum cukup mendapatkan kepercayaan diri.

”Gak ada?” ulang Sean heran. ”Profesi orang tua?”

Lidah Chaerra rasanya keluh mendapatkan pertanyaan beruntun yang sejak tadi terdengar begitu merendahkan. Gadis itu seolah ingin menyentak suaranya kasar, tapi aura yang ditunjukkan oleh manusia di hadapannya seolah menunjukkan jika siap menarik keris untuk memotong leher Chaerra kapan pun. Ia meneguk ludah kasar, melirik pada Jeiden yang hanya bisa mendongakkan dagu pelan menyuruh gadis itu untuk menjawab.

”Ayah saya kerja buat salah satu stasiun televisi, ibu saya desainer.”

Sean mengangguk paham. ”Sekolah di mana?”

”GHS, Yah,” sahut Jeiden cepat, ”satu kelas sama aku.”

”Ayah bilang Ayah gak tanya sama kamu,” ujar Sean makin dingin dengan lirikan sinis, ”pacar kamu bisa jawab sendiri kan.”

”Garuda High School, Om,” jawab Chaerra jadi lebih lugas, ”kelas XI di IPA5. Anak pertama dari dua bersaudara. Saya ikut beberapa kegiatan di sekolah, seperti OSIS dan ekskul Dance. Rumah saya di daerah Komplek Griya Citra, rumah nomor 49. Ayah saya dari Jakarta, dan ibu saya dari Surabaya. Ada lagi, Om?”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang