⑅⃝⋆ Ƥ𝐚𝓻𝐭 15

12.2K 911 16
                                    

𝓢𝓮𝓵𝓪𝓶𝓪𝓽 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓪𝓬𝓪
________𝓸0𝓸_______________



Laut menyaksikan dengan tatapan datarnya saat suami istri itu saling berpelukan. Dalam hati lelaki itu sedikit lega saat pendarahan akibat terpeleset itu tidak menimbulkan akibat fatal untuk adik dan keponakannya sendiri.

Bia dibantu oleh Ben untuk duduk. Wanita muda itu merentangkan tangan ke arah Laut.
"Bang Laut." panggilnya.

Laut tersenyum tipis, lelaki itu mendekat dan langsung merengkuh tubuh kecil adiknya, tak lupa memberi kecupan kecil di kepala wanita hamil itu.

"Bia kangen, kenapa abang baru ke sini saat Bia kek gini, padahal abang udah beberapa bulan kembali." lirih Bia.

Laut mendesah pelan dan mengurai rengkuhannya, ia mengacak rambut wanita itu sambil tersenyum seadanya.
"Abang sibuk aja." ujarnya.

Bia tidak tertanya lagi. Ia tahu kata 'sibuk' itu hanya alasan dibalik rasa kecewa Laut yang tidak akan pernah lepas walaupun tahun sudah berganti.

"Bia kapan pulangnya?" tanya Bia sambil menatap Ben yang berdiri di samping brankar sebelah kirinya.

"Sore nanti, kamu istirahat dulu ya." ujar Ben dengan lembut.

Bia tak banyak protes, wanita itu mengangguk dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang kakak.
"Bang Laut gimana kabarnya?" tanyanya.

"Baik-baik aja. Ya sudah, abang pulang dulu ya." balas Laut. Bia mengangguk walaupun tidak ikhlas. Ia masih merindukan kakaknya saat ini.

Tapi ia sadar dengan seragam di tubuh lelaki itu, yang menandakan ia tak sebebas dirinya yang tidak sekolah.

Lagi-lagi ada sesuatu yang menghantam dadanya, karena dirinya tidak akan pernah bisa memakai seragam seperti itu sampai kapan pun.

Dan satu lagi, hubungan dengan sang kakak tidak akan sehangat dulu lagi, seperti ada tembok tak kasat mata yang memberi jarak di antara mereka.

Bia tidak menuntut lebih. Laut mau menemuinya dan berbicara padanya itu sudah lebih dari cukup. Mau marah tapi semuanya berasal dari dirinya. Andai saja ia bisa menjaga diri dan tidak tergoda dengan semua kenikmatan duniawi, mungkin semua masih baik-baik saja.

Tapi ia tidak boleh menyesal. Ia harus mensyukuri apa yang terjadi. Ia sama sekali tidak menyesal saat ada nyawa lain yang bersarang di perutnya. Ia mensyukuri semuanya.

Laut keluar dari ruangan Bia tanpa tujuan. Sepertinya kembali ke sekolah bukan sesuatu yang bagus. Membolos untuk hari ini sepertinya adalah pilihan terbaik.

"Laut!"

Sang pemilik nama berbalik saat namanya disebut. Lelaki itu mengangkat alis menyambut kedatangan Ben yang berlari menyusulnya.

"Thanks." ujar Ben.

Laut mengangguk.
"Lo harus kerja." ujar Laut tanpa berniat menyahut perkataan lelaki itu.

Ben terdiam.

"Gue punya usaha fotocopy yang sekarang ada di tangan Papa gue sementara waktu, karena sekolah gue sistem asrama. Dan kalo lo mau, lo bisa kelolah untuk kebutuhan hidup kalian. Alamatnya nanti gue kirim di ponsel lo. Dan lo nggak usah kasih tahu sama Bia kalo gue udah bantu kalian." ujar Laut sambil menepuk-nepuk bahu lelaki di depannya.

Lautan Ilana ||END||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang