29 || Tak Lupa Sepenuhnya

14 4 7
                                    

Sejauh apa pun kalian berpisah dan sekejam apa pun takdir mempermainkan kalian, namun pada akhirnya kalian akan tetap bersama
🌻My Rival is My Boyfriend🌻

🍀🍀🍀

Suasana begitu tegang. Bibir pun terasa kelu untuk sekadar membuka kata, hanya gumaman berupa panjatan doa yang senantiasa terdengar dari orang-orang yang kini memandang kosong ke arah pintu ruang ICU.

Dengan langkah gontai, pemuda jangkung yang tak lain ialah Aiden pun mendekati wanita paruh baya yang tiada hentinya menangis. Ia berjongkok, mencium kedua punggung tangan wanita berambut sebahu, Mama Diana.

"Mama, maafin Aiden. Tolong maafin Aiden," lirih Aiden, suaranya parau terdengar putus asa.

Mama Diana menarik tangan kanan yang tengah Aiden cium, ia membelai surai kecokelatan milik pemuda tampan di hadapannya. Ia menghapus air matanya kemudian tersenyum begitu manis khas senyuman seorang ibu. "Nak, kamu tidak perlu meminta maaf. Justru Mama berterima kasih sama kamu karena kamu sudah berusaha keras melindungi Annabella. Kamu malah gendong Annabella biar dapat bantuan padahal kamu sendiri terluka cukup parah."

"Tapi, luk-" Ucapan Aiden terpotong oleh Mama Diana yang memeluknya erat.

"Cukup. Gak perlu ngerasa bersalah, Nak. Mama sangat berterima kasih sama kamu. Kalau kamu gak ada, mungkin Mama udah gak bisa ketemu lagi sama anak kesayangan Mama. Mama sangat bersyukur ada kamu, Nak. Terima kasih sudah menolong Annabella, entah gimana caranya Mama bisa membalas kebaikan kamu. Malah udah dua kali kamu bawa Annabella ke rumah sakit," ujar Mama Diana, membelai surai Aiden layaknya seorang Ibu pada anaknya. Entah mengapa ia sangat nyaman akan keberadaan Aiden.

Ya, Aiden pernah membopong sang gadis ke rumah sakit tempo hari. Tepat kala sang gadis pingsan di taman belakang sekolah usai bermain hujan dengannya.

Masih ingat, bukan? Aiden sengaja meminta Mama Diana tidak memberitahu siapa yang membawa Annabella ke rumah sakit pada sang gadis.

Dan mengenai seragam yang berbeda lantaran kala itu Aiden sengaja mengenakan seragam milik sang adik, sedangkan Haidar hanya mengenakan kaus pendek. Bahkan Haidar terpaksa hanya menunggu di dalam mobil seraya bermain game online, tak diberi izin untuk ikut masuk menengok Annabella barang sedikit pun. Entah apa mau Aiden ini.

Flashback on.

Sang pemuda pun menarik lengan Annabella yang tertutup seragam basah, ia mengajak sang gadis kembali ke tempat semula yang tak lain ialah bangku taman. "Pulang sekarang, hm? Orang tua lo pasti khawatir. Lo juga udah pucat banget udah cocok jadi pemeran arwah."

Annabella berdecak sebal seraya memutar malas manik netranya sebelum akhirnya ia meraih tas ungunya. "By the way, makasih buat hari ini. Sorry lo jadi ikutan basah, walaupun sebenarnya salah lo sendiri, sih. Tapi kesannya jahat kalau gue gak minta maaf. Gue duluan. Bye!"

"Hm, terserah," balas cowok tersebut sedikit cuek.

Annabella melangkah hendak meninggalkan sang pemuda. Langkahnya terhenti kala rasa sakitnya semakin terasa. Jujur saja sedari berlarian tadi Annabella sudah merasa kepalanya pening serta dadanya terasa sakit seolah diremas begitu kuatnya. "Ayolah gue kenapa, sih? Kuat pasti kuat. Ck, jangan lemah Bella jangan lemah," gumamnya.

"Kenapa berhen-" Pertanyaan sang pemuda terpotong kala tiba-tiba tubuh Annabella limbung ke samping.

"ANNABELLA!" Dengan cepat sang pemuda menahan tubuh Annabella yang sudah lemas tak berdaya tampaknya Annabella pingsan.

My Rival is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang