33 || Terluka tapi Terbiasa

20 4 8
                                    

Lantas pada siapakah kini aku bisa meletakkan kepercayaan kala satu persatu orang yang kupercayai melukai dan menusukku begitu dalam di balik topeng kesetiaan?
-🌻My Rival is My Boyfriend🌻-

🍀🍀🍀
Netra cantik Annabella perlahan terbuka, pandangannya menyapu ke sekeliling yang dominan berwarna putih. Bau obat pun menyeruak di indera penciumannya. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu, jika dirinya ada di rumah sakit saat ini. Tempat yang membuatnya muak.

Sunyi. Kedua alisnya saling bertaut, bingung mengapa ia bisa ada di rumah sakit seorang diri. Ia ingat sebelumnya bersama dengan Aiden. Oh, Aiden! Di mana pria jangkung itu? Apakah Aiden tega meninggalkannya begitu saja? Lantas siapa yang membawanya ke mari?

Ceklek.

Terdengar suara pintu terbuka, tak lama kemudian sebuah suara yang sangat ia kenal pun terdengar. "Eh, udah sadar lo, Boneka Jepang?" sosor Vano.

Annabella memutar malas netranya, lantas menatap sang kakak jengah. "Menurut lo?" decaknya.

"Sinis amat. Udah waras berarti lo," kekeh Vano, mengupas apel lantas ia sodorkan pada sang adik.

"Dih, lo kira gue gila apa?" sungut sang adik tak terima, namun tangan kanannya menerima apel dari sang Abang.

Vano semakin tergelak kala wajah Annabella tampak kesal, salah satu hobi Vano ialah menggoda adiknya. Ia pun yakin hampir semua kakak akan melakukan hal serupa. Salah siapa wajah adiknya itu begitu menggemaskan, teringin rasanya ia memakan adiknya itu.

"Bukan gue yang bilang, lo sendiri yang ngaku. By the way, bisa gue tanya tentang kejadian kemarin?" tanya Vano hati-hati, takut menyakiti sang adik.

Sang gadis bungkam. Kilasan memori perlahan terputar dalam benaknya, rasa pusing perlahan mendera. Tangan mungilnya menjambak rambutnya yang sedikit berantakan, menjadi semakin berantakan akibat ulahnya. Apel yang semula ia genggam kini terjatuh di atas ranjang. Napasnya pun tersenggal.

Vano semakin panik. Ia mendekap sang adik, mencekal kedua tangan mungil agar tak lagi memukul kepala serta menjambak rambutnya sendiri. "Sttt. Sayang, tenang. Maafin Abang. Dengerin ucapan Abang, hm? Tarik napas, terus embuskan pelan-pelan," bisik Vano.

Annabella mengikuti interupsi sang kakak, hingga akhirnya ia mampu bernapas dengan baik. Namun tubuhnya begitu lemas, ia bersandar pada dada bidang milik Abangnya.

"Abang, ada apa sama Dava? Kenapa Ibunya bilang jantung Dava ada di gue? Apa Dava yang donorin jantungnya buat gue? Apa gue yang bunuh Dava? Gue pembunuh, Abang. Gue pembunuh," lirih Annabella dan tak lama terdengar isakan.

Dengan lembutnya Vano membelai surai sang adik seraya terus membisikkan kalimat penenang. "No. Lo bukan pembunuh. Ini semua udah takdir, Dava ikhlas donorin jantungnya buat lo, Sayang. Jangan salahin diri lo sendiri, oke?"

"Tapi, secara gak langsung gue udah bunuh Dava, Bang. Gue udah jahat sama dia selama ini, gue gak percaya sama cintanya. Gue selalu ngehina dia, gue nyesel, Bang," papar Annabella seraya terus terisak dalam dekapan Vano.

"Gak usah nangisin orang yang udah gak ada, biarin dia tenang. Itu udah keputusan dia sendiri buat korbanin hidupnya demi lo. Lo cukup jaga jantung yang dia kasih, bukan justru lo sesali atau malah nyalahin diri sendiri. Gak guna." Sebuah suara terdengar dari arah pintu, keduanya pun menolak ke sumber suara. Rupanya Aiden.

Oh, jangan lupakan Satya yang setia di belakang Aiden seraya membawa sekeranjang buah. Satya pun lantas meletakkannya di meja tunggu di ruang itu lantaran meja dekat ranjang Annabella sudah penuh buah.

My Rival is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang