17 || Alasan Utama

24 7 4
                                    

Salah jika kau hanya menyalahkan sikap orang lain yang melenceng dari norma. Bantulah ia, tuntunlah ia ke arah yang benar. Terkadang mereka hanya butuh dorongan serta dukungan agar mampu melupakan rasa sakit yang dirasa
-🌻My Rival is My Boyfriend🌻-

🍀🍀🍀

Angin berembus tak terlalu kencang sore itu, ia duduk menatap langit senja. Langit yang terus menjadi saksi akan rasa letih yang dirasakannya selama ini. Tekanan demi tekanan tak kasat mata terus memaksanya untuk bertahan, meskipun dengan tubuh yang kelewat letih.

Rasa sakit di dadanya semakin sering ia rasakan. Terlebih ketika dirinya dilanda banyak pikiran, rasa sakit di dadanya semakin kuat bahkan kepalanya terasa hendak meledak. Jujur ia takut, ia takut bila ia pergi sebelum bisa membahagiakan Mamanya.

Penyakitnya tak bisa diremehkan meskipun tidak separah itu, untuk saat ini. Akan tetapi memang seharusnya ia sering kontrol ke rumah sakit. Ya, karena kendala biaya dan ia sama sekali tak mengatakan hal itu pada siapa pun.

Kecuali pemuda pemilik akun Instagram yang kerap chatting dengannya dan orang-orang yang kerap menerornya lewat chat yang entah mereka tahu kabar itu dari mana. Terutama Aiden.

Ia meraih cermin, menatap pantulan dirinya di sana. Tampak wajah pucat dan sembab. Sangat berbeda dari dirinya beberapa bulan yang lalu. Inilah alasan mengapa ia sering memoleskan liptint pada bibirnya agar tampak lebih fresh.

"Huh," dengus Annabella mengembuskan napas lelah. "Percuma juga gue galau kayak gini. Lebih baik gue ngelakuin hal yang lebih berfaedah. Gue harus jadi orang berguna, gue bukan orang lemah. Gue kuat! Anak Mama Diana itu kuat, gak ada yang lemah! Gue harus bangkit!"

Annabella mengusap kasar kedua pipinya yang entah sejak kapan sudah basah akan air matanya. Ia bergegas kembali ke kamarnya untuk mempelajari materi sekolah seraya mencatat poin penting yang belum sempat ia catat sebelumnya. Tak lupa lantunan musik K-pop menjadi teman belajarnya sore itu.

Ceklek.

"Boleh Mama masuk?" tanya seorang wanita paruh baya menyembulkan kepalanya di pintu kamar Annabella.

Sang pemilik kamar pun menoleh ke kanan mendapati Mama tersayangnya berdiri di pintu kamarnya. Annabella tersenyum sumringah kemudian merentangkan kedua tangannya meminta dipeluk.

Mama Diana pun memasuki kamar buah hatinya menghadiahi pelukan hangat. Ia kini sedikit kesulitan melangkah menuju ranjang sang putri kesayangan. "Ah, kamu makin berat aja. Kayaknya baru kemarin Mama lahirin kamu, sekarang udah gede aja," guraunya.

"Mama, sih, ketuaan makanya gak kuat gendong Bella lagi," kekeh Annabella. "Bercanda loh, Ma. Mama kenapa tumben masuk kamar? Biasanya teriak-teriak nyuruh Bella turun. Kangen sama Bella, ya?"

"Kamu ini geeran banget. Tapi memang nol koma satu persen Mama kangen kamu, sih," balas Mama Diana membuat Annabella yang duduk di pangkuannya merajuk. "Aduh, bayi besarnya Mama marah, nih?"

"Mama pelit! Masa kangen sama anaknya sendiri cuma nol koma, sih. Sekalian aja gak usah kangen, huh!" cibir Annabella memanyunkan bibirnya, namun tangannya memeluk erat tubuh Mama Diana. Rindu pelukan sang Mama rupanya.

"Manjanya anak Mama, hm? Oh iya, tadi Mama mau tanya apa sama kamu, ya? Kok Mama jadi lupa gini, sih," decak Mama Diana seraya membelai surai sang buah hati.

"Biasa faktor usia," lontar Annabella dengan santainya. "Santai, gak perlu marah, Ma. Masih ada Papa yang baru naruh barang beberapa detik aja udah lupa."

"Kamu ini hobinya nistain orang tua sendiri. Durjana loh kamu." Senang rasanya bergurau dengan putri kesayangannya, harapan kebahagiaan dirinya.

"Durhaka kali, Ma. Mama mau tanya apa, sih? Jangan bikin anak Mama yang paling cantik ini kepo, deh!" Annabella mendongak menatap setiap lekuk wajah sang Mama yang belum juga berkeriput justru tampak masih muda.

My Rival is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang