Chapter 36 : Sisi Lain Rival
Setelah Choucho melahap seluruh isi Nori Nori Kyun, Boruto segera mengambil kembali bungkusnya. Jangan sampai gadis narsis ini berubah pikiran.
Boruto pergi meninggalkan Choucho yang masih terbuai sisa rasa bumbu rahasia layaknya gadis yang tengah jatuh cinta. Sepertinya, edisi terbatas ini memang bukan lelucon.
Melihat bungkus makanan yang sudah tidak tersegel, Boruto merasa agak menyesal. Jika keinginannya bertemu Ninjaman tertolak karena hal ini, dia akan frustasi. Semoga saja pihak penyelenggara berbaik hati dan memberinya kelonggaran.
Boruto melipat bungkusnya baik-baik ke dalam jaketnya. Setidaknya, jangan sampai barang ini menjadi lebih lusuh lagi.
Dengan pergerakannya yang semakin ringan, Boruto berencana mencari sebuah tempat yang luas untuk meningkatkan teknik langkahnya.
Lima belas menit kemudian.
Di sebuah hutan dekat Konoha, seorang gadis berpakaian merah berdiri mematung dan memejamkan matanya. Gadis ini sedang memikirkan sebuah simulasi pertempuran di kepalanya.
Terkadang dia mengerutkan dahi. Terkadang dia menggertakkan gigi. Kemudian, ketika matanya terbuka, gadis ini segara melempar banyak shuriken ke segala arah.
Tak sampai di situ, gelombang kedua dari shuriken menyusul dan diarahkan ke gelombang pertama shuriken dengan kecepatan yang lebih kencang.
Ketika kedua gelombang bertemu, tabrakannya mengubah arah mereka. Namun, bukannya shuriken-shuriken mental tak beraturan, mereka justru mengarah tepat ke target bidik yang sengaja ditempatkan pada banyak objek.
Ada target bidik yang menempel di batu, di batang pohon, di dahan pohon, dan juga di tanah. Satu hal yang pasti, semua shuriken mengarah tepat sasaran tanpa ada yang sia-sia.
Lemparan ini sungguh prestasi yang luar biasa untuk ukuran gadis 10 tahun. Bahkan, para chunin yang tidak berspesialisasi pada senjata mungkin akan sulit menirunya.
Sayangnya, ekspresi yang ditunjukkan sang gadis bukannya kebanggaan, tetapi justru rasa frustasi yang luar biasa.
"Tidak cukup! Ini tidak cukup! Bocah kuning itu memiliki teknik langkah yang sangat misterius. Aku harus melempar lebih cepat dan lebih tidak terduga."
"Aku harus menjadi lebih kuat darinya. Aku harus mengalahkannya dan menjadi yang terbaik di akademi."
"Jika tidak … jika tidak … ayah …"
Ketika narasi gadis berpakaian merah sampai di titik ini, dia menjadi terduduk lemas. Tangannya memeluk tubuh langsingnya erat-erat seolah salju menjadi lebih dingin dari yang seharusnya. Walau pakaiannya cukup tebal, tetapi itu disesuaikan untuk latihan musim dingin, sehingga tidak sehangat pakaian normal.
Beberapa menit sebelum sang gadis terduduk lemas, sebenarnya Boruto diam-diam mengamatinya dari atas pohon yang cukup jauh.
Awalnya, dia masih mencari tempat latihan yang cocok. Kemudian, pandangannya teralihkan oleh sosok saingannya di akademi, Sarada Uchiha.
Boruto tentu berniat mematai-matai latihan sang rival. Ini untuk keuntungannya sendiri jika harus berhadapan dengannya di masa depan. Mungkin tindakan Boruto terlihat tidak etis, tapi jangan salah, kode seorang Shinobi adalah mengetahui musuh sebaik-baiknya guna memikirkan tindakan balasan yang tepat.
Jika musuh merasa dicurangi, maka dia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena tidak waspada pada keadaan sekitar.
Boruto diam-diam memuji diri sendiri bahwa dia bertindak pintar. Gadis Sarada ini juga merupakan perusak suasana hatinya di banyak kesempatan. Dalam penilaian Boruto, dia hanya sedikit kurang menyebalkan dibandingkan Inojin.
Selama masa akademi, gadis langsing ini entah kenapa membencinya. Perkataannya selalu dingin. Tindakannya selalu memicu amarah.
Ketika Boruto menilik masa lalu, sepertinya kebencian gadis ini dimulai ketika masa mereka pertama kali bertarung. Itu bahkan bukan pertarungan fisik, tapi wawasan seputar Shinobi. Hanya karena gadis ini sedikit di bawahnya, dia seolah menjadi dendam dan dengki.
Boruto awalnya tak terlalu memikirkan, tapi di setiap kesempatan berikutnya, gadis ini selalu mencari alasan untuk berkonfrontasi dengannya di berbagai bidang.
Jika bukan karena sosoknya yang enak dipandang bagi lawan jenis, Boruto akan meningkatkan 'poin menjengkelkannya' melebihi Inojin.
Bahkan, Choucho sekalipun yang amat narsis tidak semenyebalkan dia. Setidaknya, kenarsisan Choucho berlaku untuk semua orang. Namun, Sarada berbeda, dia hanya bersikap menyebalkan khusus untuk Boruto.
Ketika Boruto merasa sukses dalam memata-matai lawan menyebalkannya, ekspresinya juga mengalami pasang surut.
Pertama-tama, dia merasa terpukau melihat teknik melempar shuriken Sarada. Dia harus mengakui dirinya tak bisa melakukan itu.
Kemudian, dia berkeringat dingin. Jika ini dirinya satu bulan lalu, Boruto yakin akan menjadi landak ketika menghadapi teknik shuriken Sarada. Syukurlah, dia memiliki kartu truf lain yang sudah dilatih. Namun, kemarin gara-gara televisi, kartu trufnya menjadi terekspos ke banyak pihak. Maka dari itu, Boruto harus meningkat lagi untuk memberi lawan-lawannya kejutan.
Ketika Boruto pikir dia sudah cukup melihat, siapa sangka, Sarada justru tampak depresi.
Gadis itu terlihat sangat lemah sehingga Boruto yang membencinya pun menjadi tidak tega.
Di satu titik, gadis itu bahkan menangis seolah menyalahkan dirinya sebagai orang paling tidak berguna di dunia.
Sisi Sarada yang seperti ini tak pernah sekalipun Boruto lihat sebelumnya.
Perasaan aneh muncul di hatinya. Dia merasa seperti penjahat. Walau dia tak tahu di mana kesalahannya, perasaan bersalah itu tiba-tiba hinggap.
'Sial! Apa-apaan! Yang aku lakukan hanyalah berlatih dan berlatih untuk menjadi lebih kuat. Apa itu salahku jika dia tak bisa mengalahkanku? Haruskah aku mengalah sebagai bentuk simpati? Wanita tidak masuk akal!'
Boruto menggelengkan kepalanya di kejauhan. Dia tak bisa mengerti kenapa Sarada merasa sangat frustasi hanya karena tidak bisa mengalahkannya.
'Seharusnya, gadis itu memaklumi saja. Bagaimanapun lawannya adalah anak hokage. Tidak bisakah dia berpikiran seperti itu?'
Boruto yang kebingungan bahkan mengaitkan dirinya dengan gelar ayah hokagenya yang selama ini tidak dia sukai. Biasanya, dia tak ingin orang-orang menyebutkan prestasi pribadinya dalam satu napas yang sama dengan predikat anak hokage. Namun, untuk kasus ini, karena rasa bersalah yang muncul entah dari mana, ia berharap Sarada memiliki pola pikir seperti itu.
Sedikit yang Boruto tahu, Sarada bukan tersakiti karena tidak bisa mengalahkan dirinya. Itu semua karena ayahnya, Sasuke Uchiha.
Sarada merasa karena dirinya bukan nomor satu, ayahnya selalu tidak peduli dengannya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena mengecewakan harapan ayahnya.
Sudah hampir tiga tahun ayahnya tak memberi ucapan apapun pada keluarga. Sekalipun akan ada berita, itu semua berita formal yang hanya cocok untuk pekerjaan. Hampir tak ada kata-kata hangat untuk sekedar mengobati kerinduannya.
Boruto mungkin berpikir dirinya jauh dari sosok Naruto yang sangat sibuk dan kurang peduli pada keluarga. Namun, jika dia mengetahui kesepian yang dialami Sarada, maka dirinya akan malu sendiri.
Seorang gadis seumurannya bisa bertahan dan terlihat tangguh diluar tanpa kasih sayang ayah. Sedangkan, Boruto yang seorang lelaki masih mengeluh dan merasa dirinya sangat diabaikan dari pada warga desa lain.
Tentu saja, pengamatan Boruto tidak sedalam itu. Dia masih merasa Sarada hanya iri dan dengki pada prestasinya sampai-sampai dia frustasi. Rasa bersalah yang muncul pada dirinya ia anggap sebagai rasa iba pada lawan jenis saja.
Tak ingin lama-lama diliputi perasaan aneh tersebut, Boruto memutuskan pergi meninggalkan Sarada dan kembali fokus ke tujuan aslinya. Selama kekuatannya meningkat, suasana hatinya pasti akan membaik lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORUTO: Jalan Baru ke Era Kultivasi
FantasyYang berbeda dari cerita aslinya: 1. Boruto terkesan lebih dewasa dan tidak menjengkelkan. 2. Karakter lawas tidak di-nerf, malah tambah kuat. 3. Alur cerita fresh, sehingga akan lebih banyak perbedaan dari alur aslinya. 4. Banyak karakter buatan sa...