Chapter 27: Provokasi

87 21 1
                                    

Chapter 27: Provokasi

Keesokan harinya, Boruto kembali menjalani pemeriksaan. Kali ini hanya ibunya yang menemani.

Setelah mengambil beberapa sampel selaput mata, tidak banyak hal yang dilakukan.

Sebenarnya, jika Sakura tidak dibatasi oleh protokol medis yang tepat, dia bisa saja melakukan pengujian yang ekstrim. Namun, Sakura bukanlah Orochimaru yang tidak memiliki batasan dalam penelitian. Terlebih, Boruto bukan subjek eksperimen yang bisa diperlakukan sesuka hati. Dia adalah tamu VVIP yang perlu dirawat sebaik mungkin.

Maka dari itu, cara teraman adalah menguji variabel-variabel yang tidak berbahaya namun penting untuk dicari jawabannya.

Setelah semua hal itu selesai, Boruto dan Hinata pergi dari rumah sakit.

Boruto berkata, "Ibu, aku akan mencari Shikadai. Ada hal yang perlu diurus."

Hinata menjawab penuh perhatian, "Baiklah. Pakai jaketmu dengan benar. Udara sudah mulai dingin. Jangan sampai kamu terkena flu."

"Baik, Bu."

Mereka berdua pun berpisah.

Boruto akan mengecek tempat di mana Shikadai biasanya nongkrong.

Karena suhu sudah sangat dingin, Boruto kira Shikadai seharusnya tidak di pematang sungai. Dia mengecek tempat lain yang biasa Shikadai kunjungi.

Di sebuah tempat bermain game arcade.

Di dalam sebuah layar digital dua karakter saling bertukar serangan. Yang satu mirip seperti ninja yang menutupi dirinya secara utuh, sementara yang lainnya mirip seperti samurai dengan pedang katana diacungkan.

Setelah beberapa kali karakter ninja terkena serangan, bar darah karakter tersebut menjadi nol.

'Samurai Pengelana Menang'

Sebuah tulisan di layar menyatakan pemenangnya.

"Ah, shikadai, kamu membuatku kehilangan makanan ringan berhargaku. Kamu harus membayarnya kembali!"

Seorang gadis berumur 11 tahun berteriak histeris. Untuk anak seusianya, gadis ini entah bagaimana sudah memiliki sosok yang hampir matang. Orang yang tidak mengenalnya mungkin akan berpikir dia berusia sekitar 15 tahun. Jika bukan karena tinggi gadis ini masih terlalu pendek untuk disebut gadis matang, mereka mungkin akan mengira umurnya lebih tua lagi.

Hal yang mencolok lainnya dari dia adalah warna kulit. Orang negara api biasanya memiliki kulit kekuningan. Namun, gadis ini memiliki kulit kecoklatan yang mana jarang ditemui di Konoha.

Shikadai saat ini tengah diangkat kerahnya oleh gadis ini. Shikadai merasa sangat dirugikan dan membalas, "Tunggu Choucho. Aku sudah berkata padamu untuk tidak bertaruh. Aku bilang padamu peluangku menang melawan Inojin hanya 50:50."

Choucho, gadis dengan sosok yang tidak sesuai umurnya ini membalas, "Aku tidak peduli! Kamu harus membayar kerugian."

Di tengah krisis yang dihadapi Shikadai, sebuah suara lembut menimpali. "Choucho, kamu jangan salahkan Shikadai. Kakakku hanya bercanda dengan taruhannya. Benar, kan, Kak?"

Seorang bocah lelaki berambut pirang di sisi lain menjawab, "Yah, karena adikku bilang begitu, apa boleh buat. Choucho, tenang saja. Aku tidak akan mengambil makananmu."

Mendengar amnesti itu, Choucho segera menurunkan Shikadai dan berjalan ke arah bocah lelaki di sebelah. Ia menepuk-nepuk pundak bocah itu dengan riang. "Inojin, kamu memang yang terbaik. Tidak seperti Shikadai yang cuma bisa tidur."

Shikadai yang merasa diejek membalas, "Tidurku tidak membebani siapapun. Tidak seperti nafsu makanmu yang merugikan banyak orang."

"Merugikan banyak orang? Jangan bercanda. Mereka semua yang dimintai Nona Choucho makanan harus merasa bangga karena membuat nona ini tertarik pada hal-hal yang mereka makan."

Shikadai merasa mual dengan narsisme gadis ini, "Kamu hanya tukang palak makanan. Apanya Nona Choucho?"

"Humph! Kamu yang tidak merasa terberkati oleh Nona ini tidak akan mengerti perasaan mereka yang terberkati." Choucho bertingkah angkuh dan masih tidak menyerah.

Suara lembut yang menenangkan kembali melerai pertengkaran kedua bocah, "Kalian, jangan bertengkar lagi. Bagaimana kalau sehabis ini kita pergi membeli Crepes?"

Sebelum salah satu dari mereka menjawab, ada suara lain yang membalas, "Oh, Crepes? Boleh juga. Aku ikut."

Kecuali Inojin, ketiga bocah terkejut bersamaan. "Boruto?"

Sementara itu, Inojin menampilkan wajah kesal."Tch ..."

Beberapa saat kemudian di kedai kecil penjual Crepes.

"Crepes isi daging untuk Choucho. Isi pisang untuk Shikadai. Dan yang terakhir adalah isi alpukat untuk Inori. Aku sudah memesan yang ukuran jumbo."

Boruto memutuskan untuk mentraktir teman-temannya dan segera membagikan pesanan mereka. Khusus untuk yang terakhir, Boruto membagikannya dengan penuh senyuman menawan.

"Oii, di mana punyaku?" Inojin bertanya jengkel.

"Huh, aku lupa tentang pesananmu. Sebaiknya kau pesan sendiri jika masih menginginkannya." Boruto membalas cuek.

"Kau! Sangat bagus, Boruto. Aku akan mengingat ini. Tch ...!" Inojin membuang muka kesal.

"Kak, jangan marah. Punyaku terlalu banyak. Kita bagi dua saja. Lagi pula Boruto sudah berbaik hati mentraktir kita semua."

Inori gadis berambut pirang kembali melerai pertengkaran. Inori dan Inojin adalah saudara kembar. Namun dibanding kakaknya, dia memiliki rambut yang lebih panjang, alisa mata yang lebih melebar, dan bibir yang lebih mungil.

Jika bukan karena gender yang berbeda, saudara kembar ini akan lebih sulit dikenali hanya mengandalkan tampilan luar semata.

Namun, kedua saudara ini dipoles dari batu permata yang sama. Mereka sama-sama enak dipandang.

Hanya saja, bagi Boruto, Inori seindah bidadari surga, sedangkan Inojin bahkan tidak segagah monyet liar. Satu-satunya hal yang Boruto kagumi dari Inojin adalah kegigihannya untuk menjauhkan dirinya dari Inori.

"Kakak yang sangat pengertian pada adiknya." Boruto berujar sarkastik.

Inojin yang mendengarnya langsung tersulut emosi. Bocah kuning ini benar-benar membuatnya muak. Jika bukan karena Inojin tak bisa mengalahkannya, dia akan sudah menghajarnya setiap kali mereka bertemu.

Tidak, Inojin bukanlah seorang bocah yang impulsif. Satu-satunya momen Inojin kehilangan kesabarannya hanya ketika melihat rambut kuning yang berkeliaran. Rambut kuning yang selalu mengikuti adiknya setiap mereka bertemu.

Inojin membentak, "Kau! Jika ingin bertarung bilang saja. Jangan menggunakan kata-kata tidak jelas!"

"Heh? Apa aku tidak salah dengar? Kamu tidak ingat siapa pecundangnya terakhir kali kita bertarung? Jika bukan karena Inori, aku akan membuat wajah putihmu tidak bisa dikenali."

"Boruto, jangan arogan! kau pikir dirimu tak terkalahkan, hah? Jika berani mari kita berduel lagi. Akan kupastikan kau menyesal."

"Hahaha ... lelucon yang lucu. Baiklah, aku akan sedikit bermain denganmu. Mari kita ke arena akademi."

Di tengah-tengah pertikaian ini, Choucho masih menikmati crepesnya seolah hal-hal lain tidak sepenting makanan di depannya. Sementara, Shikadai terlihat lesu dan tidak bersemangat seolah hal-hal ini sudah ditebaknya. Satu-satunya yang peduli pada pertengkaran adalah Inori yang memasang ekspresi cemberut manis. Dia tidak menghentikan mereka karena sadar pada titik ini konflik sudah menjadi pertandingan antara pria bukan lagi pertengkaran para bocah.

"Ano ... aku tidak perlu ikut, kan?" Shikadai bertanya malas.

Boruto menyeringai dan menjawab, "Apa yang kamu katakan, Shikadai? Tentu saja kamu akan menjadi juri. Jika tidak, siapa tahu mungkin beberapa orang tidak menerima kekalahan."

Inojin yang mendengar itu bertambah gerah. "Boruto, jangan kau pikir akan selalu di atasku. Saat kau terjatuh, akan kupastikan sakitnya tak akan hilang!"

BORUTO: Jalan Baru ke Era KultivasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang