33

91 10 1
                                    


Kutatap lekat matanya yang berwarna biru, sebiru samudra. Aku tidak pernah berhenti kagum jika melihat warna mata milik Vion. Terlihat bercahaya.

"Maukah kamu berdansa denganku?"

Vion terkejut mendengar perkataanku, dia menoleh ke kiri sambil menutup mulutnya dengan punggung tangannya, aku melihat telinganya memerah.

"L-iana seharusnya aku yang bilang begitu!"

Ah, aku mengerti sepertinya Vion merasa malu.

"Haha, kamu terlalu lama mengatakannya lebih baik aku kan lebih dulu, ayo! Aku tidak menerima penolakan darimu!"

Aku tidak peduli walau harus memaksa Vion berdansa denganku.

"Baik."

Aku memekik senang. "Ayo!" Kutarik tangannya untuk memulai dansa itu tetapi dia mencekal tanganku.

"Tidak di sini, kita akan mencari tempat yang lebih nyaman." Setelah mengatakan itu Vion melangkah lebih dulu, dia menarikku dengan pelan.

Aku tersenyum melihat tangan Vion yang memegang erat tanganku, terasa hangat membuat perasaanku nyaman. 'Aku harap terus seperti yah Vion.'

Liana dan Vion tiba di tengah taman Gladiol, agak jauh dari kamar milik Vion

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Liana dan Vion tiba di tengah taman Gladiol, agak jauh dari kamar milik Vion. Di tempat itu terdapat sebuah kolam kecil dengan pancuran air berbentuk patung perempuan bersayap yang sedang memegang kipas, patung itu berwarna emas. Dapat di pastikan jika patung itu terbuat dari bongkahan emas.

Seperti biasa Liana selalu menatap takjub hal baru, "pemandangan ini indah sekali! Lalu di sana! Patung itu mirip sekali dengan Yukki!" Pekiknya, sambil menunjuk patung yang di maksud Liana.

Vion menoleh melihat patung itu, "ya, patung itu memang visual dari Dewi harapan, seperti katamu mirip Yukki. Patungnya di buat atas permintaan bunda."

"Yukki pasti senang jika melihat ini."

Vion tersenyum, dia mendekat lalu mengelus kepala Liana, "mari berdansa." Vion memegang tangan Liana.

Wajah Liana terlihat khawatir, "Vion aku tidak bisa berdansa." Cicitnya.

Mendengar perkataan Liana membuat tawa Vion pecah, "hahah, padahal kamu yang memaksaku untuk berdansa."

Liana yang ditertawakan cemberut, "setidaknya mengajak nomor satu, soal bisa atau tidaknya itu belakangan."

"Aku jadi semakin menyukaimu, haha. Sini, aku akan mengajarimu." Vion mendekat pada Liana, dia semakin mempertipis jarak diantara mereka, kemudian tangan kirinya menyentuh pinggang Liana.

"Tangan kananmu letakkan di bahuku, lalu tangan kirimu pegang tangan kananku. Perhatikan langkah kakimu, atur secara perlahan saja tidak usah terburu-buru." Tutur Vion.

The Forsythia and Gladiol (first) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang