Epilogue

102 6 0
                                    

"Mama! Papa! Semuanya aku pamit!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Mama! Papa! Semuanya aku pamit!"

"Hati-hati di sana sayang!"

"Jangan lupa makan."

"Sayangggg, hati-hati dengan para pria."

"Jagalah kesehatanmu."

"Liana! Hati-hati!"

Gadis remaja itu tersenyum melihat keluarganya yang begitu menyayanginya. Dapat dia lihat ibunya tersenyum lembut padanya begitu juga dengan bibinya. Lalu ayahnya yang menangis haru dengan sehelai tisu ditangannya. Ditenangkan oleh pamannya yang menepuk-nepuk punggung ayahnya.

"Putriku sudah besar." Kata ayahnya, diusapkanlah tisu itu pada sudut matanya yang terdapat kerutan kecil walau begitu ayahnya masihlah terlihat gagah.

Gadis itu menghela napas kala melihat ayahnya yang berlebihan, "papa aku hanya pergi ke sekolah bukan menikah."

"Tapi tetap saja, dulu kau begitu lengket dengan papa sampai-sampai kau akan menangis jika papamu melepaskan tanganmu." Terang ayahnya.

"Papa aku akan pulang saat libur musim panas nanti, lagi pula ada kak Jun, kak Amara, dan Disa di sana, aku tidak sendirian."

"Benar itu sayang, sudah. Biarkan Liana pergi."

"Tapi Liria~"

"Sudah Liana, naiklah. Nanti kau akan ketinggalan kereta."

"Iya."

Gadis bernama Liana itu bersiap naik ke dalam mobil yang akan menuju stasiun kereta api. Liana tidak mau merepotkan keluarganya untuk mengantar nya ke stasiun itulah mengapa dia pamitan di depan mension.

Liana akan pergi ke sekolah yang sama dengan kedua kakak dan sahabatnya. Dialah yang terakhir masuk sekolah.

Sekolah menengah atas, umurnya telah menginjak 14 tahun dan beberapa bulan lagi umurnya akan 15 tahun.

Liana melambai dari dalam mobil, dapat dia lihat ayahnya memeluk ibunya sambil menangis, lalu pamannya akan menggoda ayahnya. Bibi Niola tersenyum sembari melambai ke arahnya begitupun ibunya.

"Anda sudah siap nona?" Tanya sopir pribadinya.

Liana mengangguk sambil memasang seat belt.

Ceklek!

Mobil berjalan meninggalkan pekarangan mension-nya.

Entah mengapa perasannya tiba-tiba berdebar, dia berharap sekolahnya akan menyenangkan.

Liana menatap ke jendela mobil yang menampilkan pepohonan yang masih dalam wilayah keluarganya. Tangan kanannya memegang kalung dengan bandul setengah sayap kupu-kupu. Yang entah di mana dia dapatkan.

Dari yang dia ingat, ibunya dulu pernah bercerita padanya jika kalung itu dia dapatkan dari loteng tempat di mana dia bersembunyi ketika bermain petak umpet.

The Forsythia and Gladiol (first) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang