7- Sudah berakhir

46 6 0
                                    

Endi menghela napas, dia mengeluarkan ponsel.

Keluarga Arjuna Bahagia (10)

Enda D. : Ada yang belum tidur?

Zi Hau K. : Gue, kenapa?

Enda D. : Ada orang kobam di luar, tolong bawa masuk ke dalam

Zi Hau K. : Gue pulang ini, bang. Balik ke kost baru besok siang

Enda D. : Yg lain?

Zi Hau K. : Udah pada molor kali, kan udah jam tiga malem bang

G. Bima S. : Noki kobam lagi?

Enda D. : Yup

G. Bima S. : Gue lagi di Bandung, bang. Lo tidurin aja di ruang tengah, ntar kalau udah pulang biar gue yang urus

Enda D. : Hm

Enda D. : Bukannya gue nggak mau bantu, tpi gue nggak bisa nyium bau alkohol

G. Bima S. : Pakai masker

Enda D. : Tetep kecium

G. BIMA S. : Trus gimana? Mau biarin Noki tidur di luar?

Enda D. : ...

Enda D. : Gue bawa dia ke dalam

Endi menarik napas panjang, mengantongi ponsel ke saku celana, dia menghampiri Noki yang duduk bersandar di batang pohon, seolah nggak takut kalau mbak kunti ikut menemaninya.

Menabrakkan sepatunya dengan kaki telanjang Noki, Endi bergumam malas. "Bangun, gue antar ke kamar."

Tak menggubris, Noki kembali menegak kaleng bir yang dia pegang.

Endi meraih tangan Noki, mencoba menariknya paksa, tapi Noki menepisnya. "Gue nggak mabuk, lo bisa masuk lebih dulu."

"Bagian mananya yang nggak mabuk? Udah teler gini juga."

"Abaiin gue, sama kayak apa yang biasa lo lakuin. Anggap gue nggak ada dan silahkan masuk ke dalam."

"Gue nggak mau marah-marah di sini, Bima udah nyuruh gue buat antar lo ke dalam." Endi menarik napas. "Gue capek, bisa lo biarin gue mapah lo sekarang?"

"Gue juga capek." Bisik Noki.

"Capek mabuk? Siapa yang nyuruh lo buat minum? Itu mau lo sendiri kan."

"Gue capek." Noki mendongak, menampakkan wajah putus asa dengan mata yang berair. "Gue pengin ngilangin rasa capek gue, bangsatnya terlalu susah buat gue mabuk sekarang."

Endi meneguk ludah, dia berjongkok di depan Noki. "Lo bisa ambil cuti dulu kalau capek."

"Rasa capeknya nggak bakal hilang sampai gue mati."

"Lo bisa cerita ke gue, mungkin gue bisa ngasih saran ke lo."

Noki berkedip, lambat, butuh waktu beberapa detik lagi sampai dia membuka matanya. "Kasih gue cara biar gue bisa hilangin ingatan ini."

"Nggak ada caranya, lo bisa cerita ke gue, ada apa?"

Noki menggigit bibir bawahnya. "Gue ngebunuh keluarga gue sendiri."

Endi merubah posisi jongkoknya menjadi duduk. "Noki yang gue kenal nggak mungkin ngebunuh orang. Bilang terus terang, ada apa?"

"Gue udah bilang, gue bunuh keluarga gue sendiri." Saat gigitan bibirnya terlepas, Noki terisak. "Gue bunuh istri gue dengan tangan gue sendiri."

"..."

"Tolong, bang. Gue udah nggak sanggup lagi."

Meraih kaleng minuman Noki, Endi menyembunyikannya di belakang punggung. Dia menarik kepala Noki agar mendongak. "Tatap mata gue dan bilang ada apa sama lo, gue nggak bisa bantu kalau lo nangis terus gini."

"Gue bunuh istri gue." Noki berbisik. "Kecelakaan yang gue alami ngebuat istri dan anak yang dikandungnya mati sedangkan gue masih baik-baik aja." Mata Noki kembali berair. "Gue bunuh istri gue, bang."

"Itu cuman kecelakaan."

"Kecelakaan yang mana terjadi karena gue mengemudi dalam keadaan marah." Noki menepuk dada. "Rasa sakitnya masih ada, ingatan di mana gue menyentuh tangan dingin istri gue masih membekas, belum lagi anak gue yang masih belum terbentuk harus merelakan hidupnya karena kesalahan gue. Gue harus apa, bang? Tolong. Rasa sakitnya bikin gue capek."

Endi diam, dia yang tadi menjanjikan akan memberi saran hanya mampu menepuk pundak Noki menenangkannya.

Hatinya ikut sakit, terlebih melihat raut keputus-asaannya yang seolah menggambarkan dia nggak lagi memiliki tujuan hidup.

Endi yang dulu membenci Noki setengah mati, kini malah merasa iba. Memaklumi semua sifat buruk Noki, hatinya terus berbisik kalau Endi nggak boleh ikut melukai Noki dengan rasa kebenciannya.

Sudah cukup, tanpa dia, Noki sudah cukup menderita.

Besoknya, Endi memperlakukan Noki dengan baik. Nggak lagi mendelik saat Noki keluar kamar dengan pakaian lusuh dan bau alkohol yang menguar. Dia hanya diam saat Noki mengumpat, malah memperhatikan ekspresi marah Noki yang membuatnya khawatir.

"Noki kenapa? Dia cerita apa aja ke lo?"

Endi melirik Randu, temannya itu terus bertanya sejak kemarin. Terus membombardirnya dengan pertanyaan yang sama, 'Noki kenapa?'

Endi menarik napas, dia menyeruput kopi hitamnya dan menaruhnya kembali di atas meja. "Emang ya, kita nggak boleh menilai orang dari sampulnya aja."

Mak jleb!!!

Randu yang mendengar bisikan Endi merinding. Sampai hari-hari berikutnya, Randu nggak pernah lagi bertanya.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang