10- Alasan

47 5 0
                                    

Udin itu orang yang gampang kepikiran, apalagi kalau ada sangkut pautnya sama perkuliahan. Dia nanggepin semuanya dengan serius, kalau dapet nilai C, Udin langsung minta perbaikan.

Nggak ada pemaksaan dari pihak orang tua. Udin emang anak satu-satunya, tapi orang tua dia bukan tipe orang tua kolot yang mengharuskan anaknya berhasil. Malah cenderung bebas, apa pun yang Udin lakuin, mereka ngedukung sepenuh hati.

Bukan orang nggak punya, bukan juga orang yang punya uang melimpah kayak Andra. Keluarga Udin cuman punya enam toko gede yang tersebar di Semarang, punya beberapa karyawan yang happy abis sama bos royal kayak mereka, gimana nggak happy kalau tiap gajian mesti ada uang bonus yang nominalnya hampir setengahnya dari gaji pokok?

Dia nggak nargetin lulus cepet, Udin juga bisa sembrono, juga bisa seneng-seneng. Dia perhitungin sendiri apa yang dia mau.

Kayak ngeluangin waktu hari minggu buat ngelakuin hal yang Udin pengin, jauh dari kata nugas, Udin bahkan nggak nyentuh komputer sama sekali.

Kayak sekarang ini, hari baru senin tapi Udin udah kelekaran di ruang tamu sambil ketawa ngakak nonton Upin Ipin.

Nggak ada kantung mata, wajahnya bersih no pucat, pakaiannya nggak lagi amburadul, rambut yang udah dua bulan nggak dia cukur, kemarin dia pangkas sedikit. Ngebuat penampilannya jadi keliatan oke.

Tugas beres, hari minggu kemarin dia habisin buat tidur, gantiin tidurnya yang kurang karena begadang. Sedangkan senin ini Udin cuman ada kelas siang-sore, sengaja, katanya biar nggak terlalu stres.

Anan ngebuka pintu, udah pakai pakaian rapi, dia ngelirik jam dinding lalu balik natap Udin. "Baru jam enam udah bangun aja lo."

Udin dongak, ngasih cengiran, dia geser biar Anan dapet bagian duduk di sofa juga. "Gue udah free sekarang."

Anan gelengin kepala, nolak duduk di samping Udin. "Gue mau ke kost Friki sekarang, sekalian berangkat ngampus."

"Jemput? Ada ya orang ambil kelas jam enam?"

Anan natap Udin aneh. "Lo ngatain diri lo sendiri?"

Udin nyengir, hari selasa sampai jumat selalu dia awali sama kelas pagi di jam 7, cuman hari sabtu sama senin yang mulai agak sorean. "Terus ngapain ke sana jam segini?"

"Friki nggak bales chat gue, nggak tau kenapa." Udah selesai pakai sepatu, Anan pamit. "Gue pergi dulu."

Hening lagi, pas waktu nunjukin jam 8, penghuni kost mulai keluar satu persatu.

"Widih, udah waras lo?" Bukan hinaan, tapi pujian.

Udin yang dengar ucapan Jihau langsung senyum lebar. "Tugas gue udah selesai."

"Jangan dibiasain begitu lah. Sayang nyawa! Kalau kata mama, nggak boleh memforsir diri cuman karena tugas." Jihau menepuk dadanya bangga. "Kayak gue nih, ngejalanin kuliah santai."

"Saking santainya sampai ngulang kelas." Noki lewat belakang Jihau, nggak lupa ngasih pernyataan sadis. "Udah goblok, makin goblok."

"Sensi banget lo, lagi PMS ya?"

"Budu."

Udin masih stay senyum. Senyumnya makin lebar saat Bima duduk di sampingnya, menyodorkan setoples coklat. "Sankyu, Bim."

"Ganti yang lain, dong."

Masih mengunyah coklat, Udin tanya. "Ganti apa?"

"Tom and Jerry, kek. Gue nggak suka Upin Ipin, takut ketularan botak."

"Kalau mau liat Tom and Jerry, noh ke dapur aja." Andra yang baru beres mandi, duduk di samping Bima. "Ada tom and Jerry versi nyata."

Pranggg...

Baru juga dibahas, udah ada baskom jatuh sama teriakan Noki di dapur. Mesti Jihau pelaku utamanya.

"Coklat?"

Andra mengambil satu coklat yang Udin sodorkan. Seiring kunyahannya, keningnya berkerut. "Pahit."

"Lo kan abis sikat gigi, pait lah." Bima meraih remote, memilih channel yang dia suka. "Nggak ada kelas lo, Din?"

"Ada, masih nanti jam 1 siang."

"Tumben kelas siang. Dosennya nggak masuk?"

"Kan tiap senin sama sabtu gue ambil kelas siang-sore."

Bima noleh. "Ini senin?"

Udin ngangguk.

Bima natap Andra. "Senin?"

Andra juga ngangguk.

Bima langsung nyerobot masuk kamar, lima menit kemudian, Bima udah ganti baju dengan tas di tangan. "Gue pinjem motor, dong."

"Ngampus?"

Bima ngangguk. "Pinjemin, gue udah telat ini."

"Punya lo di mana?"

"Bengkel." Bima gregetan. "Mau minjemin nggak, anjir?! Udah jam segini nih."

Andra ngerogoh kantong, bukannya melempar ke Bima, dia malah ngelempar ke Udin. "Lo anter gih terus balik ke sini, gue ada kelas sejam lagi."

"Kenapa nggak lo sekalian berangkat aja?"

"Masih pengen rebahan gue."

"PLIS INI UDAH TELAT BANGET GUE!" Bima panik.

Udin ikutan panik. Dia keluar kost dengan kunci di tangan, sedangkan Bima ngintil dari belakang.

"Turunin gue di depan gedung langsung."

"Siap, bos."

Sampai di pintu masuk gerbang nggak ada dua menit, tapi yang bikin sengsara masuk ke gedung seni, gedung yang paling pojok.

Lima menit baru sampai, Bima keluar mobil setelah bilang makasih.

Nggak langsung balik, Udin malah ngendarain mobilnya ke gedung teknik Arsi, nunggu di mobil sambil celingukan dengan jendela mobil yang turun setengah.

Saat orang yang dia cari keluar, Udin full senyum.

Jalannya anggun, rambutnya dikuncir kuda, make up tipis-tipis, nggak ada senyuman waktu mahasiswa menyapa, celana jins longgar yang dipadu sama jaket denim biru. Cantik.

Namanya Elda, dosen teknik Arsi, umurnya baru 27 tahun, sifatnya cuek bebek.

Cewek yang Udin taksir, cewek yang jadi alasan Udin terlalu berpusat sama pendidikan, cewek yang ngebuat Udin memaksakan diri biar dia cocok untuk bersanding dengannya nanti.

"Serius lo naksir sama dia?"

Udin ngangguk, saat fokusnya kembali, senyumnya hilang.

Ada Bima, natap dia dengan senyuman miring. "Selera lo ketinggian, bro."

Bima lagi, Bima lagi. Setelah memergoki Andra dengan pacarnya, sekarang dia memergoki Udin yang natap cewek yang ditaksir?!

GIMANA BISA BIMA SEHOKI INI?!

Udin cuman bisa cengar-cengir. "Nggak jadi masuk?"

"Kelas dibatalin." Masih berdiri di depan mobil, Bima memberi senyuman. "Serius nih alasan lo ngebut ngejar nilai karena cewek?"

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang