51. Tentang Noki

26 4 0
                                    

"Noki udah nggak keluar kamar dua hari. Perlu disamper enggak?" Sambil ngemil coklat milik Bima, Didim bertanya.

Setelah kejadian di hari minggu itu, Noki langsung ngurung kamar. Dia nggak makan, nggak berangkat ke sekolah, nggak ngomong sama penghuni yang lain. Malah suara tangis Noki terdengar setiap hari. Sesegukan, kayak dunia Noki benar-benar udah runtuh.

Sekarang sudah sore, Anan sudah pulang magang setelah minta ijin ke kepala kejuruan otomotif kalau Noki nggak bisa masuk sekarang. Dia juga ngerasa khawatir, selalu tanya ke penghuni lain Noki sudah keluar kamar apa belum.

Randu menghela napas. Dia masih pakai setelan kerja, melipir ke dapur buat ambil minum. "Gue nggak tau masalahnya apa, tapi ngelihat Noki yang kayak gini malah bikin makin khawatir."

"Kita juga nggak tau mental dia di dalam gimana, apalagi yang kita bicarain ini Noki. Orang nomor dua setelah Teru yang nggak mau ceritain dirinya sendiri." Endi menerima waktu Didim nyodorin coklat.

"Mau didobrak aja?" Anan melirik pintu kamar Noki. "Suara tangisnya udah nggak kedengar lagi. Tuh anak nggak mungkin ngelakuin yang aneh-aneh, kan?"

Andra berdiri dari duduknya. "Perlu gue dobrak?"

Lima orang dengan otak paling dingin berkumpul, diskusi buat nyari solusi paling benar. Empat orang labil sibuk di ruang santai, nggak main PS kayak kebiasaan mereka, ikut merasa takut.

Pintu terbuka. Semua yang ada di dapur dan di ruang santai langsung melongokkan kepala.

Noki keluar, pakai celana pendek selutut tanpa atasan, wajah dan rambutnya basah, tapi itu nggak menutupi wajahnya yang kacau.

Jalan ke dapur, Noki balik natap mereka satu-persatu. "Apaan?"

Andra melongo. Mata mereka mengikuti pergerakan Noki yang ngebuka kulkas, ngambil sekotak susu dan es krim. Orang yang ngumpul di ruang santai langsung ngebirit ke dapur.

Duduk di meja makan, Noki menggebrak meja dengan kotak susunya. Risih sama tatapan yang tertuju ke dia. "Apaan, anjing? Gue nggak dibolehin minum susu apa gimana?"

Randu tersadar. "Oh, nggak apa-apa, minum aja."

"Mau gue bikinin nasi goreng?" Endi menawarkan.

"Dua hari nggak makan harusnya bubur aja." Anan nyari panci kecil. "Mau gue bikinin?"

"Nggak usah." Noki menghabiskan es krimnya. "Gue mau ke bengkel, udah lama nggak ke sana."

"Lo harus makan dulu." Randu ngotot. "Mau gue pesenin makanan? Lo mau apa? Biar gue beliin."

Noki melipat tangan, ngelihat Randu yang ekspresi wajahnya kebaca itu malah bikin Noki pengen usil. "Gue mau lobster, beef, kepiting bumbu sama nila bakar."

Randu melongo.

Andra langsung sigap ngambil HP di saku celana. "Oke, gue pesenin."

"Gue bercanda, cok!" Noki panik. Siapa yang mau ngabisin kalau beneran dibeliin?

"Orang tuanya bang Noki kemarin kan dateng bawa banyak gudeg, suguhin itu aja." Teru nyeletuk.

Noki langsung diam. Anan berdeham, tapi dia langsung nyalain kompor buat manasin gudegnya.

"Lo kok nggak bilang sih kalau bokap nyokap lo masih ada di kota yang sama? Yang dateng ke sini bang Bejo mulu." Teru duduk di kursi depan Noki. "Lo jarang banget cerita tentang masalah ginian. Padahal udah mau setahun kita tinggal bareng."

Teru, please. Jangan ngebuka luka lama. DAN TOLONG NGACA! Dirinya sendiri juga jarang ngomongin masalah keluarga.

"Gue nggak punya orang tua." Noki memasukkan sedotan di kotak susunya.

Teru diem, jadi Udin yang nyahut. "Nggak boleh woi ngomong kayak gitu. Gue emang nggak tau masalahnya apa, tapi gimana pun mereka tetap orang tua lo."

"Dibilang nggak punya orang tua." Noki nerima waktu Anan nyodorin mangkuk berisi gudeg tanpa nasi. "Gue anak panti."

Hening. Mereka nggak ada yang bergerak. Anan yang lagi ngambil nasi aja ikutan melongo.

"Gue punya sekitar 40an adek panti. Karyawan di bengkel gue aja anak panti semua. Bang Bejo itu abang gue di sana, tapi dia sudah nikah, jadi kita pisah sejak gue masuk SMK."

Bima nyenggol lengan Udin, berbisik di sebelahnya. "Lo salah tusuk."

"Gue udah pernah bilang kalau punya bini, kan?" Noki berdiri, dia ngambil alih piring yang Anan pegang. Ngambil nasi sendiri lalu duduk lagi di tempatnya semula. "Mereka orang tua bini gue. Mertua. Apa mantan mertua, ya? Bini gue kan udah dikubur."

Nggak ada yang berani nyahut.

Noki makan dengan anteng sambil cerita. "Gue cuti setahun karena kecelakaan. Mobil kami ditabrak truk dari belakang sampai ancur. Kondisi luka parah, jadi harus operasi besar, tapi bini sama anak gue nggak bisa diselamatin."

"Karena itu lo nggak berani naik mobil?"

Noki ngangguk, dia nerima gelas yang Randu kasih. "Gue masih takut. Dulu jangankan naik mobil, ngelihat mobil aja udah kerasa mual. Gue juga masih mimpi buruk, lo tau gimana susahnya tidur kalau gue nggak minum alkohol."

"Udah nyoba ke psikolog?"

"Gue nggak ngerasa kondisi yang dialami ini separah itu. Atau mungkin malah menikmati kondisi gue sekarang. Kalau disuruh jujur, gue nggak punya lagi alasan buat hidup. Rasa bersalah masih ada di otak, natap mata mertua gue aja nggak berani, gimana pun anak mereka meninggal karena gue. Jadi, jalan satu-satunya cuman lari dan nggak hubungin mereka lagi."

Endi meremas pundak Noki, menguatkan. "Lo nggak boleh kayak gini terus."

"Gue tau." Noki menaruh sendok, nggak lagi berselera makan. "Kemarin mereka juga bilang gitu, mereka bilang nggak boleh nyalahin diri terus, nggak boleh terlalu berlarut sedihnya. Mereka nyuruh buat ikhlas dan ngelanjutin hidup."

Noki menunduk, tangannya menutup mata, pundaknya bergetar. "Gue nggak punya siapa-siapa, tapi baru aja punya keluarga, mereka malah hilang. Gue bisa apa kalau satu-satunya alasan gue hidup udah nggak ada?"

Randu menggeser kursinya biar lebih dekat ke Noki, dituntunnya kepala Noki biar bersandar di bahunya. "Gue yang bikin bini sama anak gue hilang, bang. Gue nggak pantas buat dapet hal berharga kayak keluarga."

Endi menepuk punggung Noki. Bima duduk membelakangi meja sambil mengusap mata. Anan sok-sokan cool dengan minum susu padahal matanya memerah. Udin malah udah nangis.

"Lo nggak boleh bilang kayak gini lagi, semua orang pantes punya keluarga. Kita keluarga lo juga, kan? Ayo kita cari cara buat sembuhin hati lo ini. Kita bakal bantu, mau gimana lo nanti, kita bakal tetap di sini."

"Hanna mati karena gue, bang."

Bagi Noki, kalimat yang dia ucap itu fakta. Dia ngedoktrin dirinya sendiri kalau itu memang salahnya, dia nggak ngebiarin waktu nyembuhin rasa berdukanya, dia memilih lari daripada hadapin masalah yang terus mengejar.

Lagi-lagi. Noki terus menyalahkan diri. Mentalnya luar biasa sakit. Randu heran kenapa Noki masih mampu hidup dengan psikis kayak gini.

"Bukan salah lo. Dia mati bukan salah lo." Cuman kata-kata penenang itu yang bisa Randu ucap.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang