27 - Pentingnya alkohol

32 4 0
                                    

"Mas, dengerin aku dulu." Cewek itu memegang tangan cowok yang masih setia ngedorong kursi roda yang dia duduki. Raut wajahnya panik, matanya udah basah karena air mata. Kerudung yang dia pakai udah lecek nggak karuan. "Mas, tolong..."

Nggak kunjung mendapat jawaban, cewek itu mengemis meminta pengertian. Hatinya semakin sakit ngedengar cowok di belakangnya terus menarik napas panjang. "Dengerin aku semenit aja, aku nggak apa-apa."

Mereka keluar dari rumah sakit, berjalan di koridor menuju parkiran. Banyak orang yang memperhatikan, ada yang terang-terangan menunjukkan kalau mereka penasaran. Perawat yang kebetulan lewat, menanyakan apa yang terjadi. "Nggak apa-apa, mas?"

Dia nggak punya pilihan lain selain berhenti. Memasang senyuman tipis, cowok itu mengangguk. "Nggak apa-apa, mbak. Lagi ada masalah keluarga aja."

"Mbaknya lagi hamil, apa nggak bisa diselesaiin baik-baik?"

Cowok itu mengeratkan pegangan di kursi roda, nggak lagi memasang senyuman. Kalimat sarkas malah keluar dari mulutnya. "Karena saya mau diselesaiin, makanya saya diem sekarang dan mulai dibahas nanti di rumah."

"Saya cuman mau bantu, mas." Mungkin ngerasa kesinggung, perawat malah ngeluarin otot. "Lagi hamil tua malah ribut, istrinya sampai nangis-nangis malah didiemin. Ya gini kalau nikah di usia yang belum matang."

"Congor lo anj-"

"Mas Noki." Hana memanggil lembut, matanya menatap Noki memperingati. "Jangan diladenin."

Mendengus, Noki melanjutkan jalan menuju parkiran. Dia masih diam meski Hana terus mengajaknya bicara, sampai mereka berhenti di samping mobil.

"Dengerin aku dulu." Hana menepis tangan Noki yang hendak membopongnya masuk mobil. Matanya menatap Noki memohon. "Aku mau bayi ini, mas."

"Kamu nggak dengerin apa kata dokter? Kita relain yang ini. Kalau udah rejekinya, nanti Allah bisa ngasih kita anak lagi." Kali ini Noki yang memohon. "Kamu mau jadi istri yang baik, kan? Dengerin aku, cukup dengerin aku dan semua bakal baik-baik aja."

"Kalau nggak sekarang mau kapan, mas?!"

"Bisa tahun depan! Atau tahun-tahun selanjutnya. Kita masih muda, masa depan kita masih panjang. Kita bisa menunda punya momongan setelah ini."

"Mau tahun depan atau sepuluh tahun lagi juga bakal sama aja! Yang salah itu aku! Kalau disuruh milih, harusnya aku aja yang mati, bukan bayinya."

"HANA!" Bibir Noki bergetar. Dia menyempatkan diri buat berbalik, mengusap matanya yang basah. "Kita bahas ini di rumah."

"Kalau dibahas di rumah juga keputusan kamu nggak bisa dirubah."

"Kalau kamu tau, harusnya kamu diem." Noki memasukkan Hana ke mobil samping kemudi dengan hati-hati, disimpannya kursi roda di bagasi.

Noki mulai melajukan mobil, berusaha menutup telinga dengan tangisan Hana.

"Mas."

Noki diam.

"Aku mau anak ini, mas. Kita cuman perlu nunggu sebulan, aku masih kuat buat beberapa minggu ke depan. Dokter bilang aku bisa sesar, aku nggak masalah lahiran di usia anakku yang baru delapan bulan."

Noki menarik napas panjang. Dia menurunkan kecepatan mobil.

"Aku mau bertahan." Hana mengelus perutnya yang membuncit. "Aku mau anak ini."

"Resikonya terlalu besar." Noki menggeleng lirih. "Pertahanin kandungan kamu buat sebulan ke depan itu terlalu memaksa. Dokter udah berkali-kali bilang kalau jantungmu nggak kuat. Bayimu ngebahayain kamu, Na."

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang