25 - Naik gunung

31 4 0
                                    

"Lo... bawa alkohol?" Didim bertanya hati-hati dengan suara rendah. Matanya natap satu manusia yang berdiri mematung di sampingnya. Bibir Didim kelu, nggak bisa lagi berkata-kata.

Teman-teman yang lain juga gitu. Termenung, natap satu orang yang sama dengan pandangan aneh. Beberapa anak sesekali ngelirik petugas penjaga yang berkacak pinggang natap mereka bengis, selayaknya beruang yang mampu menguliti mereka hidup-hidup.

"Bang, lo ngapain bawa beginian?" Teru berbisik. Dia nyenggol lengan Noki yang masih berdiri. "Lo goblok apa gimana sih, bang?"

Mulut Noki menganga, bibirnya bergerak tapi nggak ada suara yang keluar.

"Lo ngapain bawa alkohol, anjing?!"

Noki menoleh saat dapat sentakan di lengan, dia natap Bima dengan mata polos. "Gue kira gue boleh bawa alkohol."

"Petugas goblok mana yang ngebolehin bawa alkohol pas naik gunung?!"

"Cuman satu alkohol! Itu juga kadar alkoholnya rendah. Cuman sekaleng, isinya nggak lebih dari setengah liter." Noki natap petugasnya. "Pak, apa boleh lolosin saya kali ini aja?"

Guoblokkkkk. Jelas nggak boleh.

Mereka lagi ada di post pengecekan barang setelah satu jam berkutat mendaftarkan sembilan bujang dan satu duda buat naik gunung. Semua barang bawaan mereka dicek dan ditulis oleh petugas, biar saat turun gunung nanti nggak ada sampah yang tertinggal di atas.

"Mabuk di gunung itu nggak boleh."

"Cuman sekaleng nggak bikin saya mabuk, pak." Noki menyahut cepat, pantang menyerah. Karena hanya alkohol satu-satunya penyelamatnya. "Saya butuh banget minum ini, pak. Kalau nggak ada ini, saya mati. Bapak mau gotong mayat saya turun gunung?"

"Congor lo dijaga!" Bima nempeleng kepala Noki. Dia mengangguk sekali pada petugas. "Ambil aja, pak. Nggak apa-apa. Kalau temen saya mati, nanti mayatnya bisa saya gotong sendiri."

Kali ini Noki yang nempeleng kepala Bima. "Congor lo yang harus dijaga."

Gelut singkat. Jeduar! Berakhir setelah petugas pengecekan memperbolehkan mereka buat mulai naik gunung.

Jaraknya nggak terlalu hedon kayak naik gunung tahun kemarin. Sekarang gunung yang mereka naiki lebih kecil, cocok buat para pemula. Bahkan bisa sampai puncak cuman dalam waktu kurang lebih 4 jam aja dengan dua pos tempat peristirahatan.

Awal naik masih pada santai. Teru ngajak Jihau nyanyi Preman Jalanan walau suara mereka jelas nggak memadai. Didim yang paling depan, lagi asik ngobrol bareng pendaki lain yang umurnya udah 40-an. Randu sama Endi kejatah di barisan terakhir. Biar nggak ada yang ketinggalan katanya.

"Naik gunung ramai-ramai, mas?" Ada cewek cantik nyapa. Pakaian dia ketat, celana leggingnya dilapisi dengan kolor warna biru, pakai topi warna senada. Tas besar tersanggul di punggung, langkah kakinya ringan, keliatan banget kalau dia punya pengalaman naik gunung.

Dia murni bertanya. Buat basa-basi, nggak ada nada centil sama sekali. Dua teman cewek yang bareng dia juga nggak ada tanda-tanda pengin godain. Masalahnya, yang ini cewek tanyain itu Noki. Jelas dicuekin.

"Iya, ramai-ramai. Mumpung dapet libur ini." Bima yang nyahut. Keringat yang udah netes di kening nggak menyurutkan semangat Bima buat tetap tersenyum. "Eneng cuman bertiga?"

"Iya, mas. Cuman bertiga. Biasanya ada enam orang, tapi yang lain nggak ikut karena nggak dapet ijin cuti kerja."

"Widih, udah kerja aja, neng. Kerja di mana?"

"Di perusahaan XXX."

"Loh? Perusahaan penerbitan?"

"Kok tau?" Cewek yang tadi diam, ikut nimbrung, matanya berbinar-binar.

"Temen gue ada yang kerja di sana juga soalnya. Kenal dia nggak, neng?" Masih berjalan, Bima menunjuk Randu. "Cowok pendek yang punya badan berotot itu. Kenal?"

Cewek yang tadi ngajak Noki bicara menyipitkan mata. "Nggak kenal aku."

"Randu bukan, sih?" Satu cewek yang paling pendek nyahut. "Aku pernah lihat dia meeting bareng penulis di cafe depan."

"BANG RANDU!" Bima melambaikan tangan, menarik perhatian Randu sama orang disekitarnya. "ADA TEMEN KERJA LO NIH!"

Randu tersenyum tipis. Dia mengangguk sekilas pada ketiga cewek di samping Bima, lalu balik ngobrol bareng Endi. Ngebuat suasana canggung bagi Bima.

"Santai mas, Randu juga suka gitu kalau di tempat kerja." Cewek yang tadi ngaku kenal Randu, menenangkan Bima. "Duluan ya, mas. Kita tunggu di puncak."

Sepuluh cowok ditinggal. Kayak nggak ada harga dirinya, tiga cewek malah ngeduluin mereka naik gunung.

Dua jam. Sampai di pos peristirahatan. Napas Noki udah kembang kempis. Bima juga sama, tapi dia masih mampu ngobrol sama yang lain.

Istirahat sebentar, baru lanjut jalan. Masih di formasi yang sama, yang paling tua yang paling belakang.

"Lo oke?" Randu tanya ke Noki.

Kaos abu yang Noki pakai udah basah keringat, napasnya nggak beraturan. Dia menggeleng, nunjukin kalau dia nggak baik-baik aja. "Siapa anjing yang ngasih aturan kemah di gunung?!"

Randu ngasih konstruksi buat istirahat sebentar. Mereka minggir, ngasih jalan buat pendaki lain biar mereka bisa lewat.

Bima yang biasanya suka lirik cewek yang lewat kini lebih sibuk mengatur napas. "Gue... capek... anjinglah."

"Gue nggak heran kalau kita istirahat di sini padahal baru naik nggak ada tiga jam." Jihau, cowok paling bugar di tim malah asik merenggangkan kaki. "Yang satu pecandu alkohol, yang satu perokok aktif. Kombinasi yang luar biasa."

Bima udah nggak bisa berkata-kata, jadi Noki yang mewakili buat misuh. "Bacot."

Ini bukan karena Bima atau Noki cowok lemah! Mereka memang lemah, tapi nggak selemah itu! Beda sama delapan cowok yang belum nunjukin tanda-tanda sekarat.

Sebagai penghuni paling lama, Teru, Endi sama Randu udah agak terbiasa naik gunung. Jihau anak Tari dan ahli beda diri udah nggak diragukan lagi staminanya. Udin sejak SMA udah sering naik gunung bareng teman-temannya. Didim sama Anan rajin lari pagi kalau lagi nggak sibuk. Andra nggak usah ditanya, langganan gym dia.

"Ayo, bentar lagi sampai puncak." Randu bertepuk tangan sekali setelah dilihatnya kedua anak nggak berguna mulai bernapas normal. "Mau sampai ke puncak kapan kalau istirahat terus?"

"Nggak bisa kita kemah di sini?" Bima tanya dengan mata anjing.

"Nggak bisa. Ini udah nanggung banget, satu jam lagi sampai. Ayo dong semangat. Abis ini gue bebasin lo berdua deh. Biar kita berdelapan yang ngurus tenda segala macem."

Mereka mulai jalan lagi, tapi perjalanan mereka lebih lama. Noki yang udah sekarat, Bima yang nyawanya udah menghilang.

Perlu dua jam bagi mereka buat sampai di puncak lagi.

Seperti apa yang Randu janjiin, dua cowok lemah diistirahatkan dengan delapan cowok yang beberes.

Bima duduk di tanah selonjoran kaki sambil ngelakuin pendinginan sesuai apa yang Jihau arahin. Sedangkan Noki berdiri natap ke bawah dengan tatapan kosong.

"Kenapa, bang?" Teru yang lagi nyiapin kayu, natap Noki. "Pemandangannya cantik kan ya?"

"Gue mikirin neraka yang bakal gue alami lagi waktu turun gunung nanti." Noki natap Teru. "Biar lebih gampang, gue loncat dari sini aja apa ya?"

"BANG, JANGAN NGADI-NGADI SUMPAH!"

"GUE TAU LO CAPEK TAPI JANGAN ADA NIATAN BUAT BUNUH DIRI!"

"LO JANGAN MIKIR YANG ANEH-ANEH DI SINI! NTAR KALAU KEJADIAN BENERAN, MAMPUS LO!"

"SADAR, NOKI! LO NGGAK BOLEH BUANG OTAK LO CUMAN KARENA CAPEK!"

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang