39 - Narkoba?!

35 3 0
                                    

"Lepas dulu mantolnya."

Petra nurut. Dia melepas mantol sambil sesenggukan, tangannya masih gemetaran waktu dia mau melipat mantolnya, jadi Bima yang ambil alih. Dia berjongkok sambil melipat mantol, biar gampang buat disimpan. Ngelihat tali sepatu Petra yang terlepas, Bima inisiatif mengikatnya.

"Jangan nangis lagi. Aku kan udah di sini, nggak ada yang perlu ditakutin lagi." Bima berdiri, melepas jaket dan disandarkan di kedua bahu Petra. "Makasih udah hubungi aku."

Petra memasukkan tangannya buat memakai jaket Bima. Bau permen dan manisan lain yang tercampur sama cologne menguar. Petra menunduk, sadar saat jaket Bima yang selalu dia lihat punya gambar tambahan di bawah. Tangan Petra mengelus gambaran barunya sambil ntap Bima.

Bima tersenyum tipis, dia mengangguk. "Baru aku lukis kemarin. Katanya kamu suka bintang."

Nggak ada korelasinya, tapi jelas Bima lagi nunjukin ketertarikan. Karena Petra lagi nggak stabil sekarang, jadi dia cuman bisa diem sambil nahan tangis.

"Masuk mobil dulu."

Petra lagi-lagi cuman bisa nurut. Wapis bantu menuntutnya ke mobil belakang, sedangkan Endi ngebantu Bima buat naikin motor Petra ke belakang mobil.

Butuh waktu lumayan lama, Bima harus memastikan tali buat ikat motor nggak melonggar, bisa bahaya kalau tiba-tiba ikatan lepas di tengah jalan.

Endi masuk mobil lebih dulu, Bima menyusul setelah nyimpan helm dan mantol di belakang.

Baju mereka basah, hampir menyeluruh. Endi yang tadi pakai jaket milih melepas jaketnya, tapi Bima yang pakai kaos biasa cuman bisa gigit bibir. Kedinginan.

Sambil nyalain pemanas, Bima mulai jalan. Matanya nggak berhenti ngelirik Petra yang lagi di peluk Wapis.

"Lo emang lagi ngundang gue buat nyolok mata lo ya?"

Mata yang tadi natap Petra, sekarang natap Wapis. "Apaan."

"Idih, pake bilang apaan-apaan." Wapis mencibir, tangannya masih menepuk bahu Petra. "Mata lo natapnya nggak senonoh banget, anjing!"

"Mata gue kenapa, cok?!" Nggak terima, sifat asli Bima keluar. Dia berdeham waktu tau Petra meliriknya. Sambil natap ke depan, Bima melembutkan nada bicaranya. "Gue cuman mau mastiin kalau dia baik-baik aja."

"Biar gue yang urus Petra. Lo urus aja tuh jalanan. Gue nggak mau mati sebelum rabi."

Bima mengulum bibir, matanya ngelirik Endi yang sudah mendesah pasrah. Semua penghuni kost Arjuna tau kalau dalam sebulan terakhir Endi lagi stres berat hadapin kode-kodean Wapis yang nggak berujung.

"Bang-"

"Diem lo." Endi menyela, nggak membiarkan Bima mencela.

Bima ketawa. Puas banget ngakaknya. "Gue nggak bilang apa-apa padahal."

"Gue tau lo mau ngomong apaan."

"Apaan coba?"

Endi ngasih death glare ke Bima. "Diem."

Bima ngelirik ke belakang, belum buka mulut udah disemprot Wapis. "Mau apa lo, nyet?!"

"Galak bener buset." Bima natap ke depan. Fokus, lalu pinggirin mobil ke cafe. Dia masuk sendiri dan balik dengan tiga kopi panas dan satu susu coklat.

"Widih ada susu."

"Yang susu Petra."

Bombastic side eye. Criminal ofensif side eye. Wapis ngedumel. "Terus gue lo kasih kopi?"

"Lo cinta kopi, kan?"

"Gue nggak pernah suka kopi!"

"Bang Endi pecinta kopi, kirain lo juga." Bima ngelirik Wapis sambil hidupin mesin. "Lo kan selalu ngikutin apa yang bang Endi suka."

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang