14 - Bima takut jatuh cinta

44 3 0
                                    

"Aku punya biskuit."

Bima yang lagi berdiri mainan HP sambil bersandar di tiang listrik, mendongak natap cewek aneh yang berdiri di hadapannya.

Kerdil, berkerudung, pakai jaket merah, ada jepitan tengkorak di samping kepala. Ngingetin Bima ke cewek webtoon buatan lokal -WEE- yang sering Teru baca.

Si kerdil dongak, nampilin wajah polos tanpa dosa. "Aku punya biskuit."

Bima menurunkan HP. "Gue punya motor."

"Aku punya biskuit." Si kerdil ngucapin hal yang sama.

Kening Bima berkerut. "Gue punya laptop, punya baju bagus, punya sepatu mahal."

Si kerdil berkedip sekali, dia miringin kepala. "Kamu punya biskuit?"

"Enggak."

Si kerdil ambil tiga biskuit dan memberikan sisanya ke Bima. "Nih." Lalu nyelonong pergi gitu aja setelah Bima menerima biskuitnya.

Masa bodoh, Bima anti menolak rezeki, jadi dia makan tuh biskuitnya.

Seminggu kemudian...

Bima nangkring di tiang listrik yang sama. Di depan gerbang kampus sambil nunggu anak kost lewat atau nggak teman yang dia kenal bawa kendaraan biar bisa dia tebeng.

Katanya sih motornya baru diservis, tapi udah seminggu berlalu dan belum ada kepastian. Bima takut kecolongan, jadi hari ini dia memutuskan buat mampir nengokin motor kesayangannya.

"Aku punya permen."

Suara yang sama. Bima mengulum bibir menahan seringai. Dia noleh, pasang poker face. Sok keren dengan naikin satu alisnya. "Apa?"

"Aku punya permen."

"Terus?"

"Kamu punya permen?"

Bima ngangguk, ngerogoh permen milkita di saku celana. "Punya."

"Aku punya permen kaki merah."

"Kan gue bilang gue punya permen."

"Tapi permenmu bukan permen kaki merah." Si kerdil nyodorin dua permen kaki. "Nih, aku kasih."

Bima menerima, melongo sebentar. Pas dia sadar, cewek kerdil udah jalan ninggalin dia.

Seminggu kemudian...

Bima nongki di depan gerbang, kali ini bukan di bawah tiang listrik karena sekarang motor kesayangannya udah balik. Dia mainan HP sambil nunggu Teru beres konsul ke dosen, katanya mau nebeng balik kos.

"Aku punya bolpen."

Suara yang sama. Udah lama nggak kedengar, kalau disuruh jujur, Bima sedikit senang dengar suara ini.

Ngedongak, Bima memiringkan kepala. "Gue juga punya bolpen."

Seolah nggak dengar, si kerdil tetap sodorin satu bolpen ke Bima. "Nih, aku kasih satu."

"Gue bilang gue punya bolpen."

"Kan aku bilang aku cuman mau ngasih satu."

"Gue nggak butuh."

"Mahasiswa mana yang nggak butuh bolpen?" Si kerdil makin keras kepala. Dia ngedekat setengah langkah. Mungkin karena ogah nyentuh kulit Bima, si kerdil langsung memasukkan bolpen ke saku kemeja Bima, lalu langsung nyelonong pergi gitu aja.

Bima ambil bolpen yang si kerdil beri, dibacanya tulisan yang ada di sana. 'beli satu gratis satu!'

Bajingan. Bima ngumpat dalam hati. Dia dikasih sisaan ternyata.

Si kerdil udah lama nggak kelihatan. Seminggu, dua minggu, sebulan. Hampir dua bulan. Si kerdil datang lagi, tapi bukan hampiri Bima, tapi hampiri cowok asing yang lagi nunggu tebengan di bawah tiang listrik. Yap, tiang listrik tempat di mana Bima sama kerdil awal bertemu.

Bima yang hendak masuk gerbang kampus, minggirin motornya, natap satu cewek yang tersenyum polos setelah cowok itu menerima ciki pemberiannya.

Si kerdil, cewek yang kali ini pakai jaket biru laut dengan bros bewarna senada yang cuman jadi pajangan di sisi kiri kerudungnya, dia berhenti berjalan lalu ngasih ciki ke pejalan kaki lain.

Mengerutkan kening, Bima melepas helmnya. Niatnya pengin tebar pesona, aslinya dia sendiri yang kena pesona di cewek kerdil.

Si kerdil yang sadar keberadaan Bima, tersenyum lebar. Dia tengok kanan kiri sebelum bersiap nyeberang. Lari kecil dengan kaki pendeknya, belum plastik yang dia peluk berisi ciki hampir jatuh berserakan.

"Aku punya ciki."

Mulut Bima sedikit terbuka, melongo. Tanpa perlawanan, Bima malah menengadahkan tangannya. Menunggu si kerdil menaruh satu ciki di tangannya.

Sama kayak biasa, si kerdil udah mau nyelonong pergi kalau aja Bima nggak bersuara. "Nama."

"Hah?"

"Kuping lo congek apa gimana?" Bima narik napas panjang. "Gue tanya nama lo."

"Petra."

"Petra?"

Petra ngangguk antusias. "Yup."

"Lo suka gue?"

Alis Petra menukik, keningnya berkerut bingung, bibirnya maju beberapa senti tanpa sadar. Saat tau kalau Bima malah ngelirik bibirnya, Petra mengulum bibirnya dalam. Sebagai jawaban, Petra menggeleng.

"Terus ngapain lo ngasih gue ciki?"

"Aku juga ngasih yang lain ciki."

"Sebelumnya lo juga ngasih gue bolpen."

"Aku lupa bolpen mana yang kamu maksud tapi aku sering ngasih orang lain bolpen."

"Lo ngasih gue biskuit."

Petra menggigit bibir bawah, berusaha menahan diri buat nggak manyun. "Berbagi itu indah."

"Lo ngasih gue nggak cuman sekali. Udah tiga kali dan kita selalu ketemu di depan gerbang kampus. Kalau lo bilang lo suka gue sekarang, gue nggak bakal nyebarin apa pun."

"Jangankan suka, aku aja nggak kenal kamu." Petra mundur beberapa langkah. Wajah nggak sukanya kelihatan banget. "Ini tuh jumat berkah! Aku bagi-bagi biar skripsi yang aku kerjain lancar nggak ngadat mulu."

Bima yang tadi bertampang marah, kini malah melongo bloon.

Malu? Jelas. Tapi untung banget jalanan ke gerbang kampus nggak begitu ramai.

Petra jalan, mau bagi-bagiin ciki lagi.

"Petra."

Petra noleh.

Bima ngusap tengkuknya, dia angkat ciki yang tadi dia terima. "Thanks."

Dalam hitungan detik, wajah Petra kembali sumringah. Dia ngangguk lalu kembali berjalan.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang