16 - Keluarga yang kehilangan masa jaya

34 4 0
                                    

"Serius kamu mau lanjut? Apa nggak mikirin keluarga kamu? Kamu tuh udah gede, harusnya tau seberapa nggak pergunanya kuliah tapi nggak punya koneksi. Kamu anak pertama mama loh, Mas. Gimana bisa kamu jadi panutan kalau kamu nggak bisa berhasil di masa depan?"

Didim cuman bisa tersenyum, bukan senyum paksaan, tapi senyum memaklumi. Diamatinya wajah cemas sang ibunda dari layar HP. "Nggak semuanya butuh koneksi, ma."

"Tapi jurusan yang kamu ambil itu butuh koneksi!" Mama meninggikan suaranya. "Kamu ngapain ngambil teknik arsi, nak? Kamu bakal susah cari kerjaan kalau nggak punya orang dalam!"

Di mata mama, jurusan apa pun yang Didim ambil pasti memerlukan koneksi untuk mencari pekerjaan. Karena apa yang sang mama harapin, Didim kerja dan nggak melanjutkan pendidikan.

"Cari kerjaan malah gampang, ma. Dosen aku bakal bantu kok. Aku usahain bakal lulus setahun lagi. Lagian sekarang kan aku masih rutin ngirim uang ke mama. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin lagi."

"Tapi uang yang kamu kasih nggak sebanyak uang yang dulu kamu kasih pas kerja!" Mama mengerang frustasi. "Tolong, Dimas mau dengerin mama, kan? Keluar sekarang dan kerja. Pendidikan itu nggak berguna buat orang kayak kita!"

Uang, uang, uang. Yang mama Didim pikirkan hanya uang. Selalu hidup berkecukupan dan sekarang hidup dalam kekurangan ngebuat mama Didim makin nggak tau diri.

Hidup selalu bergantung ke anak sulung dan sang suami. Selalu merasa nggak puas dengan uang yang suami beri dan meminta pertanggungjawaban dari Didim. Selalu selalu selalu menjadi benalu di kehidupan anaknya.

Nggak punya malu.

"Adek kamu di sini juga makannya pas-pasan, apa kamu tega kami hidup gini terus. Kamu beneran nggak mau kerja lagi? Ekonomi kita lagi seret banget, Mas."

"Kan masih ada gaji dari ayah."

"GAJI PABRIK TUH SEBERAPA, SIH?! KAMU DIBILANGIN KOK MAKIN NGEYEL GINI PADAHAL MAMA SELALU BILANG BAIK-BAIK. KURANG, NAK! KURANG! MAMA BUTUH PEMASUKAN YANG LAIN!"

Nggak tau malu. Definisi manusia yang urat malunya sudah putus.

Didim refleks mengecilkan volume HPnya. Senyumnya nggak lagi ada, dia menarik napas sambil mengusap tengkuk. "Ya udah, aku tranfer uangnya sekarang. Aku matiin dulu ya."

Didim mematikan panggilan sepihak.

Hidup Didim sudah susah. Dulu hidup sebagai anak orang kaya yang selalu menghamburkan uang dan sekarang harus hidup serba kekurangan ngebuat Didim makin kesulitan. Belum lagi sang ibunda yang terus memaksanya keluar kampus dengan dalih kekurangan uang.

Apa mama nggak sadar kalau Didim juga butuh uang buat hidup di kota orang?

Apa mama nggak sadar kalau Didim juga kesulitan ngejalani hidup memikirkan ekonomi keluarga sambil ngejalani pendidikan?

Apa mama nggak sadar kalau Didim juga lelah ngejalani hidup?

Ponselnya berdering. Ada panggilan video dari adiknya. Didim tersenyum tipis saat menerima panggilannya.

"Nggak apa-apa, bang?"

Didim menaikkan satu alisnya.

"Aku tadi di kamar, jadi nggak tau kalau mama telpon abang. Maaf ya, bang." Namanya Anggi. Cowok berusia 16 tahun yang sekarang baru dikelas 2 SMA. Perawakannya sama kayak Didim, tapi raut wajah yang mereka tampilkan berbeda.

Anggi terlihat merasa bersalah, dia nggak berani natap mata Didim lama. "Abang nggak perlu kirim uang, kok. Ini kan masih tanggal muda, ayah juga udah gajian. Uang yang abang punya disimpen buat abang aja. Gaji ayah cukup kok buat sebulan, abang nggak perlu khawatir."

"Aku bisa transfer beberapa-"

"Nggak perlu, bang!" Anggi menyela. "Beneran, nggak perlu. Uangnya buat abang aja, abang nggak perlu kirim uang buat kami."

"Buat kamu jajan, deh."

"Uang jajan yang abang kasih masih ada kok."

Didim menunduk, menyempatkan diri buat tertawa pelan. Beban dipundaknya sedikit terangkat, memiliki adik sepengertian Anggi ngebuat Didim ngerasa punya suporter terbaik.

"Yakin nih nggak mau?"

Anggi nyengir. "Nggak usah, bang."

"Beneran, nih?"

"Bener, bang."

"Mau abang gofoodin, nggak?"

"Nggak usah, bang."

"Mau abang CO-in mainan?"

Anggi diam, lalu nyengir. "Pengen monopoli, bang."

Didim tertawa, keras. Dia mengangguk paham. "Oke, nanti abang pesenin."

"Makasih, bang!"

Udah. Panggilan diakhiri dengan senyuman. Didim nggak lagi pasang senyum tipis, kali ini senyum lebar sambil buka aplikasi belanja online. Setelah beres CO, Didim keluar kamar.

Hening. Padahal hari minggu, semua anak kost juga pada ngumpul, tapi suasana terlalu hening saat Didim membuka pintu kamar.

Teru yang ngelihat abang-abangnya membeku nggak bersuara, memilih berdeham. "A-aduhhh, gue kalah nih. Bang Anan gimana, sih? Bisa main, nggak?"

Nyalahin Anan, padahal orang yang main game disebelah dia itu Endi.

Noki yang ada dibelakang Teru misuh pelan. "Goblok."

"Ada yang mau makan mie?" Bima menyela. "Gue bikinin, deh."

"Semalem kan udah makan mie." Andra yang duduk di samping Bima, berbisik memberitau.

Dimas mengusap tengkuk, meringis. "Kedengar, ya?"

"Semua orang punya masalah sendiri-sendiri. Di sini kan kita satu keluarga, kalau ada masalah lo bisa bilang ke kita." Emang ya, penghuni paling tua yang paling bisa diandalkan. Randu menepuk sofa disebelahnya. "Duduk dulu sini. Jangan terlalu dimasukin hati omongan nyokap lo, jangan peduliin kita juga, kita nggak bakal nge-judge lo yang enggak-enggak. Kayak baru kenal setahun aja."

"Mon maaf nih, bang, tapi bang Noki baru masuk kost Arjuna satu semester belum genap."

Noki mendesah pasrah. "Goblok."

Jihau tanpa ba-bi-bu langsung ngelempar kacang ke kepala Teru. "Diem lu."

Didim tertawa. Dia jalan lalu duduk disebelah Randu. "Thanks."

"Joki tugas lo gimana? Ada yang belum dikerjain? Gue bantu." Endi.

"Udah gue kerjain."

"Tugas lo sendiri gimana? Udah?" Anan yang dari tadi diam walau sempat difitnah Teru bersuara.

"Udah beres."

"Terus kerja parttime lo gimana? Mau berangkat kapan? Biar gue anterin."

Kali ini Jihau yang terkena lemparan kacang, Noki pelakunya. "Bulan lalu udah resign, goblok. Kan udah ada pemasukan freelance."

"Joki game lo gimana? Gue bantuin, deh."

Didim ketawa dengar omongannya Randu. "Nggak, nggak usah. Yang ada ranknya malah turun kalau lo bantuin."

Seisi rumah ngakak, semua ngatain Randu payah main game.

Suasana canggung tadi sudah hilang, diganti dengan tawa yang nenangin Didim.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang