15 - Namamu siapa?

50 4 0
                                    

Bima itu orang yang sama sekali nggak boleh ngejalin hubungan serius. Emang sih Bima udah bisa cari uang sendiri, nilainya selalu stabil dan bukan anak yang suka celup sana sini.

TAPI SIAPA PUN TOLONG KASIH TAU KALAU SEMUA TENTANG BIMA ITU NGGAK MELULU SOAL HAL POSITIF!

Suka nyebat, doyan ke klub, suka jalan-jalan ke luar kota rame-rame bareng teman nggak peduli itu cewek atau cowok dan nginep selama beberapa hari, suka hamburin duit, salah satu cowok yang doyan cat calling cewek yang lewat, mata yang nggak bisa berhenti natap mesum cewek.

Pokoknya, Bima itu tipe cowok bajingan. Belum sampai ke tahap bajingan banget karena dia belum pernah ngerasain yang namanya one night stand.

Semua orang tau tabiat Bima, tapi nggak ada yang berani protes. Kenapa? Karena dia selalu tau batasan.

Bima nggak pernah godain cewek yang kelihatan anak baik-baik, nggak pernah cat calling cewek berkerudung, nggak pernah kegoda sabu-sabu walau teman-temannya sering cekokin Bima tiap traveling.

Kalau dilihat dari fisik, Bima itu keliatan lemah. Dia cuman menang di tinggi badan, selain itu nol besar.

Badannya kurus kering, mata panda dengan wajah pucat, rambut yang disemir oren kehitaman malah bikin Bima kayak mayat hidup.

Bima baru beres kancingin kemeja yang dia pakai saat Andra datang dengan buku di tangan yang biasanya nggak mungkin Andra lakuin karena dia selalu nyimpan barangnya di tas.

"Buku dari mana?"

"Dikasih." Andra ngelepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Ada mahasiwi di depan gerbang yang lagi bagi-bagiin buku."

Bima menaikkan satu alis. "Buku?"

"Hm." Andra berbalik, ngasih menjelasan lebih lanjut ke Bima sebelum dia masuk kamar. "Katanya sih jumat berkah."

Keinget satu nama, Bima bergegas. Dia nggak peduli sama helm yang lupa dia ambil di kamar, Bima langsung gas ke kampus. Berkendara pelan-pelan saat masuk di area luar kampus dan berhenti sepenuhnya saat sudah di depan kampus.

Matanya natap sekeliling,cari satu cewek kerdil yang selalu ada di sekitar kampus di hari jumat.

"Bukunya, kak?"

Saking semangatnya, Bima noleh, kelewat kenceng, hampir aja ini bocah goblok patahin lehernya sendiri.

Bima tersenyum tipis, menerima buku yang disodorkan, nggak lupa ngucapin terima kasih. "Thanks."

Bukan, bukan dia, bukan Petra.

Bima menggulung buku dan menyempilkannya di motor depan. Berkendara pelan, rawan kecelakaan soalnya. Kayak nggak tau manusia pejalan kaki yang berpikir kalau area kampus tuh area aman jadi mereka jalan di tengah jalan.

Ganggu, sih. Tapi Bima masa bodoh, masih untung kampus ngebolehin mahasiswa/i nya bawa kendaraan.

Bima berhentiin motornya dadakan, tanpa lampu sein, sampai pengendara yang ada dibelakang menekan klakson sambil teriak 'BAJINGAN!' ke Bima.

Nggak peduli. Nggak peduli banget!

Bima mengulum bibir. Masih menaiki motor, Bima majuin motornya tanpa menghidupkan mesin. Mendekat ke arah si cewek kerdil di arah berlawanan yang sudah natap Bima sebelum adengan 'BAJINGAN!' itu terjadi.

"Nggak apa-apa?" Raut wajah Petra kelihatan khawatir. "Motor kamu mati tiba-tiba? Belum di servis?"

"Nggak apa-apa. Nggak mati tiba-tiba dan udah gue servis."

"Ah, gitu." Petra ngangguk dua kali, lalu wajah khawatirnya berubah jadi cerah. Dia nyodorin puding dengan kotak kecil bening sebagai wadahnya. "Aku punya puding!"

Bima kelepasan tertawa. Dia menutupi wajahnya dengan satu tangan, berusaha banget nutupin wajahnya yang memerah. "Kali ini puding?"

"Yup. Aku sendiri yang bikin. Dijamin enak, deh."

Bima menerima. "Kalau nggak enak gimana?"

"Harus enak, dong. Udah dikasih masa mau bilang nggak enak?!"

Bima mengulum bibir. Satu tangannya yang masih memegang stang mengepal.

Gemes banget. Ekspresi wajah Petra terlalu sayang untuk dilewatkan. Gimana alis tipis nyaris botak itu bermain di wajah mungilnya itu, ngikutin setiap kerutan kening yang Petra buat.

Tangan Bima terulur, hendak membenarkan kerudung Petra yang miring. Belum sampai ke tujuan, tapi Bima sudah berhenti. Dia menurunkan tangannya. "Jilbab lo miring."

"Masa?" Petra memiringkan spion Bima. "Pinjem kacanya sebentar."

Selesai, Petra kembali berdiri tegak, tangannya perlahan balikin spion Bima ke posisi semula. "Udah, kan?"

Bima ngangguk. "Lo semester berapa?"

"Tujuh."

"Jurusan?"

"Ekonomi."

"Lagi ngurus skripsi?"

"Iyups." Petra mendekap kotak besar berisi puding sambil mengenggam kedua tangannya. "Doain skripsiku lancar, ya?"

Puppy eyes itu... Bima nggak kuat... Meleleh dia...

"Gedung fakultas ekonomi jauh, kan? Mau gue anter?"

"Kelasnya udah beres." Petra cengengesan. "Abis bagiin ini aku pulang."

"Ke rumah?"

"Iyups."

"Nggak ngekos?"

"Rumahku deket, kok."

"Mau gue anter?"

Petra memiringkan kepala. "Bukannya kamu ada kelas?"

"Masih ada waktu sejam sebelum kelas dimulai."

"Enggak, deh." Petra natap motor yang Bima naiki. Motor sport kawasaki ninja hitam dengan jok belakang yang sempit abiez. "Aku nggak suka naik motor ginian."

Bima ngusap tengkuk. Dia janji bakal tukeran motor ke Didim buat beberapa bulan ke depan.

"Ya udah, gue ke kelas dulu."

"Bentar."

Bima yang udah hidupin motor, tinggal gas gueng, noleh saat Petra bersuara. "Iya?"

Petra natap Bima ragu. "Aku tau ini nggak sopan..."

Bima menaikkan satu alisnya.

"... tapi, namamu siapa?"

Bima melongo. Nggak bisa berkata-kata.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang