17 - Anak Jepang yang ngaku Sunda

32 4 0
                                    

Diawal Teru nyemplungin kaki di kost Arjuna, dia nggak seceria sekarang, nggak seramai sekarang, lebih kayak cowok pendiam yang dipaksa keadaan dengan harus tinggal sendiri.

Wajahnya selalu keliatan sedih, datar, setiap disapa, Teru nggak pernah merespon. Selain buat sekolah, dia nggak pernah keluar dari kamar. Penghuni lain pun jarang ngelihat Teru makan.

Endi sama Randu, penghuni saat ini yang pertama kali ketemu sama Teru, cuman bisa melongo ngelihat anak baru yang nggak punya sopan santun.

Sebagai penghuni tengah -bukan semester tua bukan juga semester awal-, Randu berusaha buat ngedeketin Teru, biar suasana kost Arjuna nggak suram cuman karena satu anak bandel.

Tapi semua nggak berguna. Randu benar-benar diabaikan sepenuhnya.

Anggota yang paling tua saat itu hampir aja maju buat ngasih peringatan ke Teru kalau aja Teru nggak balik dalam keadaan menyedihkan.

Randu masih hapal kapan dan gimana kejadian saat itu.

Hari senin, sore hari yang mana hujan lagi deras-derasnya, ditambah petir yang menyambar, bahkan Randu masih ingat sama pohon di dekat kampus ancur karena kena sambaran.

Teru datang. Dia nggak bawa motor yang selalu dia bawa sejak kepindahannya. Cuman berjalan menuju kost Arjuna sambil nenteng helm full face. Bajunya ancur, sobek sana-sini dengan luka terbuka yang udah nggak ngeluarin darah.

Endi yang saat itu sengaja nongki di teras buat nenangin pikiran, langsung berdiri dari duduknya. Berjalan ke tepi teras sambil natap Teru yang berhenti tepat di depannya.

"Lo kenapa?"

Nggak ada jawaban.

"Masuk dulu."

Masih nggak ada jawaban, Teru bergeming.

Endi perlu maju selangkah buat ngeraih tangan Teru. "Abis jatuh? Motor lo mana?"

Endi ngeraih helm Teru, ditaruh di meja dekat teras lalu masuk ke dalam. Nggak musingin lantai yang basah, Endi ngedudukin Teru di ruang tamu, tempat di mana yang lain lagi ngumpul.

Randu yang ngelihat Teru penuh luka, langsung ngambil kotak p3k dan nyuruh mahasiswa kedokteran ngasih pertolongan pertama buat Teru.

Nggak ada yang tanya, semua membisu, lebih ke act of service. Ada yang bawain handuk, air hangat, baju bersih. Randu beraniin diri buat lebih ngedekat, dia milih ngebuka baju Teru saat seniornya sedikit kesusahan buat ngebersihin luka Teru.

Semua nahan napas, kegiatan mereka terhenti buat beberapa detik. Badan Teru hancur, bukan karena luka terbuka yang parah, tapi karena bekas luka lama yang tertimbun dengan luka yang baru.

Besetan, ada bekas luka pisau di bahu kiri, ada juga bekas jahitan operasi di perut bawah bagian kanan.

Saat Teru mulai menangis, semua panik. Apa pun pertanyaan yang mereka ajuin, nggak satu pun Teru jawab.

Setelah hujan reda, mereka ngebawa Teru ke RS terdekat, perlu dirawat selama dua hari. Setelah Teru balik, dia mulai memasang wajah palsu.

Saat ini, Teru disibukkan sama tugas, dia ngejambak rambutnya saat salah menggambar lagi.

Didim yang lewat di depannya, pura-pura nggak tau.

Hidup bareng mahasiswa sejak SMA ngebuat Teru punya asumsi sendiri tentang susahnya jadi anak kampus.

Teru nggak mau masuk jurusan teknik komputer ngelihat berapa berantakannya Udin saat itu cowok dapat tugas, nggak mau masuk jurusan seni ngelihat Bima yang selalu frustasi saat nggak dapet ide buat tugas lukisannya dan dapet amukan dari penghuni lain karena berisik, nggak mau masuk jurusan tari karena badan dia kaku kayak kanebo kering.

Makin nggak mau masuk jurusan keuangan ngelihat Endi yang frustasi saat angka akhir nggak balance.

Yang Teru lihat setelah hampir empat tahun mengamati, jurusan teknik Arsi yang paling santuy.

Ngelihat dua orang jurusan teknik Arsi yang anteng ayem nggak banyak ngeluh ngebuat Teru semangat 45 untuk masuk jurusan itu.

Waktu udah diterima dan ngedapat tugas pertamanya, Teru loyo. Dia nyalahin Didim sama Anan mati-matian karena secara nggak langsung ngehasut Teru buat bergabung sama mereka.

"Bang, bantuin..." Teru memelas.

Anan yang baru keluar kamar, ngedeket Teru yang lagi belajar di depan TV. "Kenapa?"

"Gambar gue menceng mulu padahal gue udah gambar 3x ini. Gue nggak tau masalahnya apaan."

"Lo baru semester awal ngapain ambil AutoCad, sih? Kan bisa diambil semester depan." Anan miringin layar biar dia bisa lihat, diambilnya mouse buat ngecek pengaturan yang Teru setting. "Otomatis lo nggak lo aktifin. Warnanya dibedain, jangan sama gini, nanti lo makin bingung. Ini lo paksain nyambung makanya menceng mulu. Dibaca buku panduannya, jangan asal klik-klik doang."

"Terus ini gimana, nih?" Teru nunjuk ke angka yang nunjukin ukuran. "Kok angkanya desimal?"

Diotak-atik sebentar, Anan sudah nemu jawabannya. "Layer lo salah. Kalau tengahnya lo hapus, lo tetap kudu ambil garis di tengah, baru ntar ukurannya bisa bener."

"Ah, gitu." Teru nyengir. "Makasih, bang. Rapi bener, mau ke mana?"

"Kost Friki."

"MAU NGAPAIN?"

"Main doang."

"LO UDAH GA PERJAKA YA, BANG?"

Anan yang udah berdiri, nendang kaki Teru. "NDAS MU."

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang