29 - Ulang tahun

31 4 0
                                    

Teru benci hari ini, bukan karena ini hari senin, tapi karena hari ini adalah hari dimana dia seharusnya nggak dilahirkan.

Hidup sebagai bayangan, dipaksa keluar rumah karena hal yang nggak adil, nggak pernah ngerasain yang namanya kasih sayang orang tua meski uang bulanan selalu diurus sama manusia yang melabeli dirinya ayah.

Anak kost Arjuna yang lain juga pada sibuk sendiri-sendiri. Noki yang udah ke bengkel dari subuh, Udin yang mulai ambis, Didim sama Bima mulai ambil joki gede-gedean, Andra sudah menghilang dari kemarin karena mobil kesayangannya ada lecet sedikit di bagian belakang, Jihau yang pulang ke rumah sejak balik naik gunung dan belum ke kost sampai sekarang.

Teru enggan buat ngampus, tapi dosen yang ngajar malah makin gencar ngasih materi ngelihat anak didiknya dapat nilai yang nggak memuaskan. Padahal jam masih nunjukin pukul dua siang, energi Teru udah terkuras habis.

Ingin langsung pulang, sampai kost dan mengurung diri di kamar sampai hari berganti, sama kayak apa yang dia lakuin di tahun-tahun sebelumnya.

Teru keluar kelas paling akhir, malas berdesak-desakan bareng teman-temannya. Saat semua orang sudah keluar, Teru baru beranjak.

Dia berjalan lunglai, sorot mata malasnya dia tutupi dengan topi, tas yang harusnya tersanggul di punggung kini hanya dia seret, nggak peduli meski bagian bawah tasnya kotor.

Menarik napas panjang, Teru mau nangis. Salah dia yang parkir di gedung sebelah. Rasanya pengin panggil Harry Potter buat pinjam sapu terbangnya.

Terlalu lelah melewati koridor, Teru milih lewat halaman.

Plak!

Nggak ada 50 meter, Teru berhenti berjalan. Cekalan tasnya terlepas seiring pipinya yang basah. Tangannya menengadah, nggak ada hujan, tapi dari mana asal air ini?

Air masih setia menetes di pipi, jatuh ke kemeja yang dia pakai, ngebuat tubuh kurusnya semakin kelihatan.

Plak!

Datang lagi. Kali ini Teru bisa ngelihat plastik yang terjatuh di bawah kakinya. Sekarang tubuh Teru sudah hampir basah kuyup.

"Woi."

Teru mendongak.

"Airnya kerasa seger nggak?"

Melongo.

Udin, Bima sama Didim ada di depan. Tangannya memegang plastik yang sudah diisi air, di sampingnya ada ember berisi stok plastik airnya. Noki dan Jihau ngebawa mainan pistol air yang tersampir di pundak. Anan sama Andra ada di barisan paling belakang, tapi Teru bisa ngelihatnya paling jelas karena dua orang paling tinggi ini jongkok di belakang mobil Andra, tempat ember berisi air dan puluhan plastik air lainnya.

Lohhh... Padahal batang hidung mereka nggak kelihatan sejak pagi tadi. Gimana bisa mereka berkumpul di sini padahal mereka sendiri yang bilang kalau lagi sibuk?

Teru menutup mata saat air hampir masuk ke matanya.

"Si anjing, malah diem." Misuh-misuh, aslinya Noki senyum.

Mereka jadi pusat perhatian, tapi karena kampus masih belum seramai biasanya, hanya beberapa orang aja yang ngelihat aksi mereka ini. Berhenti, berbisik, natap mereka yang kayak geng motor yang mau tawuran, sambil sesekali menyelipkan kata 'cakep' karena visual mereka.

Teru menutup mata saat semprotan air menyerang muka. Ulah Jihau, ada kali lima detik, lalu disusul sama lemparan plastik air.

Mundur selangkah, Teru bersiap lari saat lemparan air lebih banyak. "Alon-alon, bang! Penting kelakon!"

PLAK!

Suaranya merdu sekali. Lemparan Anan tepat mengenai sasaran, terlalu tepat, saking tepatnya ngebuat Teru terbatuk karena air yang masuk ke hidung.

Si pelaku turun dari mobil, panik, Anan ngedekat ke Teru. "Lo nggak apa?'

PLAK!

Kali ini belakang kepala Anan yang jadi sasaran. Didim pelakunya. Anan termenung, dia nengok ke belakang pelan-pelan.

Didim malah nyengir, memainkan plastik air di tangannya. "Lo bisa tenang, Teru. Dendam lo udah gue balaskan."

Mereka saling lempar-lemparan, Andra yang paling ogah kena air nekat naik ke bagian paling atas mobilnya, mendominasi satu ember plastik air, dia lemparkan ke teman-temannya panik. "Rencana awal bukan gini! TARGET KITA ADA DI BELAKANG KALIAN!"

Udin ketawa saat lemparan Anan tepat sasaran mengenai Andra. "Turun sini lo, badan gede kok takut air."

Andra terbatuk-batuk, baru ngerasain apa yang Teru rasain tadi. Bener emang, lemparan Anan nggak main-main.

Andra turun, ambil dua plastik air sambil natap bengis Anan dan Udin. Mereka kejar-kejaran, nggak jauh, cuman keliling mobil doang.

Teru yang speechless cuman bisa terdiam, otaknya nge-lag, badannya nggak kunjung bergerak. Masih bingung dengan kondisi mereka sekarang.

Ada apa ini?

Sampai semprotan air Mendarat di pipi, Teru natap pelaku, masih dengan mata bengong.

"Sadar, cok. Lo yang ulang tahun, kenapa malah lo yang kelihatan paling sedih gini sih?" Selesai menyemprot, Noki menumpukan ujung pistol airnya di bahu, bibirnya melengkuk membentuk senyuman tipis. "Happy birthday, bontot. Gue sama penghuni kost Arjuna berharap lo bahagia selalu. Walau gue tau gue nggak seharusnya bilang gini, tapi jangan terlalu dipikirin sama yang namanya kehidupan. Gue emang masih anak baru di kost-an, lo cuman perlu percaya aja kalau doa gue buat lo itu nggak main-main."

Mata Teru memanas.

"Lo bisa abaiin mereka." Jihau nunjuk tiga manusia yang masih asik kejar-kejaran. "Gue emang orangnya gini, tapi lo bisa ngandelin gue kalau ada yang gangguin lo, siapa pun itu orangnya. Gue bisa hajar mereka satu-persatu."

"Omongan lo nggak bisa dipercaya." Didim ngelempar plastik air ke kepala Jihau. "Lo tuh makhluk pertama yang lari kalau ada yang gelut, tikus aja masih kalah kalau disandingin sama lari lo."

Teru ketawa. Dia maju, mau meluk abang-abangnya satu persatu, tapi nggak jadi karena plastik air tiba-tiba diarahkan semua ke Teru. Kelabakan, Teru lari, muterin lapangan sambil ketawa-ketiwi.

Mahasiswa-mahasiswi yang saat ini masuk karena ada kelas, ikutan ketawa sambil ngeluarin HP, ngerekam aksi mereka. Yang cewek juga sama, tapi mereka nggak ketawa, lebih ke terpesona. Siapa yang nggak terpesona kalau ada delapan manusia dengan pakaian basah yang lagi lari-larian di lapangan? Belum lagi ketawa penghuni kost Arjuna yang bisa menjernihkan telinga.

Nggak beda jauh dengan satu cewek yang baru keluar kelas. Tangannya memegang tumpukan kertas dengan tas selempang berisi laptop yang tersampir di bahu.

Baru beres ngajar, ngerapihin tugas yang anak didiknya kumpulkan tadi, keluar pintu lalu disuguhin pemandangan yang nggak biasa.

Ada lima menit dia berdiri di sana, natap satu manusia yang sering di cap manusia ambis tapi bisa ketawa segitu leluasanya.

Elda berbalik, menyibakkan rambutnya ke belakang sambil tersenyum tipis. "Dia bisa ketawa ternyata."

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang