19 - Si penurut

32 3 0
                                    

Endi tuh anak yang penurut, dia nggak pernah ngalami masa-masa jadi bocah pembangkang. Dia selalu mengiyakan apa yang orang tuanya mau.

Misal jurusan Akuntansi yang dia pilih saat ini, padahal Endi lebih memiliki ketertarikan dibidang tari. Tapi itu nggak masalah, bagi Endi, kebahagiaan orang tuanya itu yang utama.

Rumah Endi hanya berjarak empat jam, memudahkan orang tua Endi buat datang berkunjung sebulan sekali.

Satu-satunya yang keputusan yang Endi ambil tanpa memikirkan orang tuanya hanyalah saat Endi memilih tetap tinggal di kost Arjuna.

Walau Randu yang menahannya, Endi hanya terbujuk dalam sekali rayuan, nggak seperti Endi sama sekali.

"Bang, cewek lo ada di kamar."

Endi yang baru buka pintu, ditodong satu kalimat oleh Teru.

Jihau yang masuk lebih dulu, langsung tersenyum lebar. "Jina dateng?"

"Bukan cewek lo, bangsat." Noki yang nyahut.

Jihau langsung loyo.

"Udah lama datengnya?" Endi nggak terlihat buru-buru, dia malah dengan santuynya ngelepas sepatu, menyempatkan diri jalan ke ruang tengah, mencomot coklat di toples yang Bima peluk.

"Dari jam 11 tadi apa ya?" Teru nyenggol lengan Udin, mereka lagi main PS sekarang. "Jam berapa tadi datengnya?"

"Jam 9 kayaknya."

"Buset, pagi bener." Teru nyempatkan diri buat noleh. "Ini baru hari jumat, apa nggak kerja cewek lo, bang?"

Endi mengendik. "Mana gue tau."

"Kan lo pacarnya."

Endi tersenyum tipis, dia nggak ngejawab, malah melipir ke dapur.

Bima ngikutin dari belakang, masih dengan toples yang dia peluk. "Awet amat, padahal dia pilihan nyokap lo."

"Terus kenapa kalau pilihan nyokap?"

"Apa nggak capek dikekang?"

Endi melonggarkan dasi. "Gue nggak secapek itu. Lagian anaknya baik."

"Nggak mau nyoba jadi anak pemberontak? Mumpung umur lo baru segini."

Endi tertawa. "Gue udah terlalu tua buat jadi anak pembangkang."

Bima bersandar di meja dapur saat Endi membuka pintu kulkas. "Hidup lo flat banget."

"Gue suka keteraturan."

"Lo nggak bakal bisa bahagia kalau kayak gini."

"Dari mana lo bisa menilai kalau gue nggak bahagia?" Endi mengeluarkan dua botol teh dan tiga telur. "Gue seneng dengan hidup gue sekarang."

Bima menghela napas panjang. "Apa enaknya hidup diatur orang?"

Tangan Endi sibuk membuat omelet. "Gue nggak masalah."

"Tante-tante gitu bagusnya dari mana, sih?"

"Tante-tante congor lo." Orang yang diomongin dateng. Setelan formal yang tadi pagi dia pakai, udah diganti dengan celana pendek dan kaos longgar milik Endi. Mata tajamnya natap Bima kesal. "Gue baru 26 tahun ya, bangsat."

Namanya Wapis. Cewek Endi, eh salah... Tunangan Endi. Produser musik di salah satu perusahaan ternama di Bandung. Jam kerjanya fleksibel, jadi dia bisa dateng ke kost Endi paling nggak sebulan sekali. Tingginya nggak sampai 155cm. Kalau Wapis disandingin sama Endi, tinggi mereka kelihatan jomplang banget.

Bima memutar bola matanya. "Si tante dateng."

"Punya congor dijaga ya, anjing." Yap, mulut Wapis 11-12 sama Noki.

Kalau diibaratkan, Wapis itu versi cewek dari Noki.

Bima mendengus.

Ada satu hal yang paling-paling-paling ngebuat Bima benci ke Wapis. Karena cewek itu punya ketertarikan ke Endi, ngajuin perjodohan ke orang tua merek dan ngebuat Endi nggak bisa menolak.

"Ngapain keluar? Kamu masuk kamar dulu, ini baru aku buatin omelet."

Wapis ngedekat, nggak lupa nendang tulang kering Bima. "Aku haus."

"Ada dua botol di meja, bawa ke kamar aja."

Wapis menyentuh tangan Endi, meminta cowok itu sedikit menekuk kakinya, lalu mengecup pipi Endi.

Dia ngebawa dua botol yang tadi Endi maksud dan kembali ke kamar, saat ngelewatin Bima, Wapis nggak lupa buat mengumpat. "Tutup mulut lo, bangsat."

Bima mencibir saat Wanpis udah nggak ada di sana. "Kita baru ada di satu ruangan nggak lebih dari semenit, tapi gue udah dapet makian tiga kali."

Endi tertawa. "Maklumin aja, kayak baru ketemu sekali dua kali aja."

"Cewek begitu yang mau lo nikahin? Serius? Omongan dia terlalu kasar! Apalagi lo nggak bisa marah, gue bisa bayangin rumah tangga lo gimana kalau Wapis yang memimpin hubungan."

"Dia baik ke gue, kok. Dia nggak pernah bantah apa yang gue bilang."

"Masa depan nggak ada yang tau, bang."

"Kita udah mulai kenalan sejak gue masuk kampus, udah dua tahun kita tunangan dan apa yang lo khawatirin nggak pernah terjadi. Wapis nggak seburuk itu. Gue malah udah lupa kalau awal gue kenal Wapis itu karena perjodohan." Endi memindahkan omeletnya ke piring. Dia berbalik, ngasih senyuman ke Bima. "Lo harusnya tau kenapa, kan?"

Bima mendengus, dia membiarkan Endi pergi sambil bawa piring omeletnya.

Sementara di kamar, Endi disambut dengan wajah tertekuk Wapis. Cewek itu duduk di meja belajar Endi.

"Apa nggak bisa kamu pindah kost? Aku nggak suka sama Bima."

Endi tertawa, dia menaruh omelet di samping Wapis. "Aku udah nyaman di sini, lagian Bima temen aku. Nggak bisa dong aku pindah kost cuman karena kamu nggak suka sama temen aku."

Wapis cemberut, dia menunduk sambil memakan omeletnya. "Tapi mulut dia nggak pernah direm."

Endi melepas dasi, disusul dengan membuka kancing kemeja. "Mulutmu juga nggak pernah kamu rem, kan?"

"Tapi dia bilang gitu ke aku? Aku cewek loh."

"Mulut Bima emang suka gitu."

"Tapi mulut Noki yang lebih sampah dari Bima aja nggak pernah nyinyirin aku."

"Noki kan emang nggak nyinyirin cewek."

"Tuh kan, emang Bima aja yang gila."

Endi tertawa, dia menaruh baju kotor di keranjang cucian. Ngedekat ke Wapis, ngasih ciuman kecil di bibir. "Aku mandi dulu." Lalu masuk ke kamar mandi tanpa menoleh.

Dinyalakannya shower, Endi tersenyum, diingatnya wajah merah Wapis tadi.

Jadi anak penurut ternyata nggak seburuk itu.

ARJUNA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang